Hadiah Wiski
L
|
abirin panjang terbentang luas dengan
beraneka dan beragam lika-liku yang siap menghadang setiap insan yang tengah
melakukan perjalanan. Semua akan menemuinya. Cepat atau lambat karena ada hukum
alam yang berlaku. Seantero langit menjadi saksi atas prahara yang telah
menjadi sebuah sejarah masa silam. Semua membentuk sejarahnya sendiri. Alam
membentuk sejarahnya sendiri yang memberikan manfaat kepada penduduk bumi. Dan
begitupun dengan aku membentuk sejarahku sendiri di perantauan yang telah aku
jalani. Jejak-jejak rantau yang aku rajut dalam sebuah asa yang jauh dari
pangkuan dan belaian mesra dari sanak famili.
Aku sendiri.
Tertatih-tatih dan terlunta-lunta dalam
labirin panjangku yang kini telah mengukir sejarah kelam dalam mozaik hidupku.
Kadang aku merasa muak dengan diriku sendiri. Kadang ingin kuhempaskan
sepenuhnya diri ini ke dalam jurang penyesalan karena kutau kini aku telah
menjadi bagian dari bongkahan-bongkahan tak berguna yang telah menjadi sampah
masyarakat dalam pandangan sinis orang-orang yang tidak mengetahui kehidupanku
yang sebenarnya.
Namun, dalam egoku sendiri yang memenuhi
ruang sadarku, merasa bangga dengan apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku
bangga dengan apa yang aku hasilkan. Aku bangga bisa memenuhi semua hasrat dan
keinginanku. Semua telah kugenggam dalam kehendakku. Meskipun aku sadar bahwa
Tuhan kelak akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang telah aku lakukan
selama ini. Namun, semua yang berbau dan berkaitan dengan Tuhan aku tepiskan
dalam egoku. Aku remukkan semua dalam satu kalimat. TUHAN TELAH MENINGGALKAN
KU. Itu paradigma yang selama ini terpaut dalam hatiku. Selama ini Tuhan telah
meninggalkanku dan membiarkanku terjun dalam lorong hitam. Namun, aku bersyukur
tapi bukan pada Tuhan. Aku bersyukur pada diriku sendiri karena dengan
tenggelamnya aku dalam lorong hitam itu telah mengenalkanku pada Riri, Andri,
Lukman dan Rukia. Semua adalah temanku dan kami selalu kumpul bersama. Mereka
adalah keluarga yang aku bentuk dalam perantauan ku.
Mentari telah condong ke barat, namun,
aku masih bermalas-malasan dalam tempat tidur. Entah mengapa hari ini aku ingin
sekali merebahkan tubuh dalam lantunan indah lagu-lagu cinta yang telah aku
putar dalam DVD ku yang terletak di atas meja kamarku. Samar-samar suara Riri
memanggilku namun aku sengaja atau pura-pura tidak mendengarkannya. Aku
menghiraukannya dan kuingin panggilan Riri tidak terulang. Namun, semua
harapanku hampa. Karena kembali kudengar suara Riri dengan suara yang lebih
keras lagi.
“Iza,” aku tidak menghiraukan panggilan
Riri. Aku masih memanjakan diriku dalam pembaringanku
“Iza.... dimanako?” kembali Riri
memanggilku dengan panggilan akrab kami. Faiza Aliya Aziza. Itulah nama yang
telah diberikan oleh orangtuaku waktu kecilku. Pada mulanya aku bangga dengan
nama itu karena memiliki makna dan pengertian bahwa “Pemenang yang Tinggi dan
Mulia,”. Itu arti dari namaku yang telah kutahu dari ibu ku. Namun,
sekarang nama itu kian menjadi momok bagiku kala berkenalan dengan seseorang.
“Iza....” suara Riri membuatku risau
dengan panggilannya.
“Yah,” aku menjawabnya dengan suara lirih
yang kupaksakan. “Bangun mako Iza, sebentar lagi kamu harus bertemu dengan pak
Hamri. Kamu lupa kah?” cerotos Riri terhadapku sambil mengingatkanku tentang
pertemuanku dengan pak Hamri. Dengan perasaan yang sedikit lunglai aku bangun
dari pembaringanku menuju kamar mandi.
“Mauko lagi kemana Iza?” tanya Riri saat
melihatku melangkah meninggalkannya di dalam kamarku.
“Tidak ji Ri, mauja ke kamar mandi dulu
cuci muka,” jawabku sambil terus melangkahkan kakiku menuju kamar mandi yang
terletak sekitar 10 meter dari kamar tidurku.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 15.30
WITA
“Masih ada waktu,” bisikku dalam hati.
Aku melanjutkan ke kamar mandi sementara Riri terlihat mempersiapkan pakaian
yang akan aku kenahkan untuk pertemuanku dengan pak Hamri nanti malam.
***
“Ramdan, cepatlah nanti kita terlambat,”
sahut Isbullah
“Tunggu sikitlah Is, adzan juga baru
berlalu beberapa menit. Yakin saja kita tidak akan terlambat.” protes Ramdan
“Iya, masalahnya kamu terlalu
bertele-tele,”
“Iya ustad, ini juga ane sudah selesai.”
mereka berdua berjalan menuju masjid Al- Muhajirin untuk menunaikan
kewajibannya sebagai abdi Allah. Mereka menyusuri lorong dan jalanan stapak
untuk bisa sampai ke masjid Al- Muhajirin.
Selang beberapa saat mereka meleburkan
diri dengan jama’ah. Membentuk sebuah shaf sebagai pemersatu dan kekompakkan
mereka untuk menghadapkan wajahnya kepada Dzat yang Maha Mulia. Semua berpadu
dalam kekhusyukkan sebagai bukti cinta mereka akan Tuhan dan pengharapan agar
kelak mereka bisa bertemu dengan-Nya di sisi Allah yang Mulia.
“Is, abis ini antum ada agenda tidak?” tanya Ramdan setelah mereka menunaikan sholat.
“Rencananya mau ke rumahnya ustad, tapi
ustadnya lagi keluar makanya ane tunda minggu depan. Ada apa Ram?”
“Tidak ada apa-apa sekedar nanya aja.
Hari ini kita di kost aja yah kita buat pisang keju,” ajak Ramdan. Isbullah
menganggukkan kepala dan merekapun berlalu meninggalkan rumah Allah yang penuh
berkah. Beberapa jama’ah masih terlihat bertafakkur di dalam masjid.
“Maaf boleh nanya?” hadang seorang
laki-laki yang seumuran dengan mereka yang membuat langkah keduanya terhenti.
Ramdan dan Isbullah tampak kebingungan karena mereka tidak sama sekali mengenal
laki-laki tersebut
“Maaf dengan siapa? Ada yang bisa kami
bantu?” tanya Isbullah untuk menghilangkan kebingungannya
“Dengan Isbullah?” tanya laki-laki
tersebut
“Iya,” angguk Isbullah
“Ini ada titipan dari teman aku. Katanya
terima kasih atas bantuannya dua hari yang lalu,” terang laki-laki tersebut
sambil memberikan sebuah bungkusan besar
bercorak bunga kepada Isbullah.
“Kalau boleh tau nama temannya siapa?”
kembali Isbullah menanyakan hal tersebut untuk menepis rasa penasarannya,
“Namanya ada terpampang di dalam
bungkusan tersebut kok. Entar kalau udah dibuka pasti mas tau siapa ia. Kalau
begitu aku pamit dulu mas, masih banyak urusan yang perlu aku selesaikan. Aku
Lukman mas, mahasiswa Universitas Islam Negeri” jelas Lukman sambil melambaikan
tangan dan meninggalkan mereka berdua
“Makasih mas,” Lukman tak mengubris
Isbullah. Ia terus berlalu menjadi sebuah titik kecil dan hilang dari pandangan
mereka berdua.
Isbullah dan Ramdan melanjutkan
langkahnya menuju kostnya. Namun, hatinya masih di lingkupi rasa penasaran akan
kehadiran Lukman dan sebuah bungkusan besar yang ia dapatkan. Ia
membolak-balikkan ingatannya akan kejadian yang telah ia lewati dua hari yang
lalu. Namun, hasilnya nihil karena rasa penasarannya lebih kuat dari kemampuan
ingatannya.
“Siapa yah?” bisiknya pada dirinya
sendiri
“Mas, jangan lupa dibagikan ke ane juga
yah? Kan lumayan kalau isinya makanan bisa nyambungi hidup kita beberapa hari
ke depan. Apalagi mahasiswa macam kita yang hidup dalam perantauan. Hehehehe,”
celoteh Ramdan panjang lebar tentang angannya pada bungkusan besar tersebut.
“Iya akhi. Insya Allah kalau bermanfaat
kita bagi-bagi sekalian dengan ikhwah yang lain. Yah bagi-bagi rezeki Allah.
Kan hidup ini indah jika berbagi.”
***
Aku telah selesai memoles diriku dengan
penampilan yang akan membuat pak. Hamri bertekut lutut di hadapanku karena
kutau pak Hamri adalah lelaki mata keranjang yang doyang pada perempuan muda
sepertiku. Dalam keseharianku aku memang selalu memperhatikan penampilanku
karena kutau dari penampilanlah seseorang dapat menilai kita meskipun terkadang
mereka keliru dalam interpretasi mereka karena penilaian yang hanya pada observasi
semata pada satu sisi.
Aku bergegas menuju jalan Nusantara.
Jalan yang menjadi titik awalku mengenal semua yang tidak pernah terlintas
dalam benak fikirku. Namun, takdirlah yang telah membawaku kesana. Awalnya aku
tidak menginginkan semua ini tapi tuntutanlah yang telah membuatku harus
bertahan dan aku harus menyembunyikan identitasku dan memilih menjadi diri
orang lain.
“Sungguh perih hidup ini,” bisikku pada
diriku sendiri. Aku terkadang mengalami pengadukan emosi atas apa yang
menimpahku namun aku harus bagaimana? Tak ada yang menunjukkan jalan padaku
maka ku desain jalanku sendiri dengan pilihanku sendiri.
“Ri aku langsung ke jalan Nusantara yah.
Jam 23.30 kamu jemput aku di tempat biasa yah.” pamitku pada Riri. Riri
sahabatku yang sudah setahun lebih hidup bersamaku dalam satu atap.
“Kamu ngapain kesitu Za?”
“Yah ke pak. Hamri lah. Kemana lagi?”
tanyaku dengan perasaan yang sedikit jengkel terhadap Riri yang kutau ia iseng
bertanya seperti itu.
“Bukannya langsung di jemput di
Cendrawasih?” tanya Riri dengan raut muka serius.
“Aku minta tidak usah dijemput. Aku minta
sama pak. Hamri untuk berangkat sendiri. Soalnya aku masih ada urusan dengan
Lukman dan kami janjian bertemu di jalan Nusantara. Dari situ baru ke tempatnya
pak. Hamri. Mungkin diantar oleh Lukman atau aku naik ojek atau taksi,” jelasku
pada Riri.
Senja mulai melirik dalam warnanya yang
kembali memudar oleh jubah hitam yang sebentar lagi memulai perjalanannya.
Semua kisah terekam oleh mata tajam senja yang akan kembali keperaduannya. Aku
menikmati senja itu dalam perjalananku.
Aku ingin menikmati senja inin sebelum
malam tiba. Tepat di pantai Losari, aku berhenti dan tak ingin melanjutkan
perjalananku ke jalan Nusantara. Maka secepat kilat aku memencet tuts-tuts
hp-ku untuk mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Lukman
Kita ketemu di pantai Losari saja. Aku sudah ada
disini baru saja sampai. By Iza.
Itulah pesan singkat yang aku kirimkan ke
Lukman. Aku memandangi senja sore ini sambil menunggu kedatangan Lukman. Lalu
lalang beberapa pengunjung memadati dan menambah keramaian pantai Losari sore
ini. Tak ada raut kesedihan yang terpancar dari wajah mereka. Aku berbaur
dengan mereka menikmati semuanya dan mencoba menggambarkan raut kebahagian
meskipun dengan sebuah kebohongan. Aku selalu membohongi diriku sendiri dan
menjadi orang lain. Mungkin awan hitam merambahku dengan penuh kegembiraan
karena aku telah menjelma menjadi sahabatnya yang telah ikut arus akan
kemauannya. Sementara angin berbisik lirih pada awan-awan putih nan bersih akan
keadaanku. Awan itu hanya menangis pilu melihat tingkahku tapi apa peduli. Ia
hanyalah sebuah kapas raksasa yang tidak akan memberikan dan memenuhi hasratku.
Meskipun ia menamparku dengan kuasanya namun aku tidak akan mengikutinya. Aku
lebih tenang bersama dengan awan hitam itu. Ia memenuhi hasratku dengan cepat
dan membawa pada puncak tertinggi dengan penilaian materialistik.
Aku masih sibuk memanjakan mataku dengan
keindahan senja itu. Baru kali ini aku menikmatinya dengan sangat lama. Namun
anehnya mengapa semakin aku menatap senja sore itu semakin bayangan masa
kecilku berkelabat menari dalam pelupuk mataku. Kutepiskan semuanya dalam
keegoisanku karena kutahu aku bukan lagi anak kecil dan tidak ada gunanya aku
mengingat semua. Kini semuanya telah menjadi serpihan-serpihan cerita masa lalu
yang tidak ada gunanya aku mengenangnya. Tidak ada lagi harapan.
Tidak ada lagi mimpi-mimpi yang ku ukir
bersama teman sebayaku.
Tidak ada lagi canda tawa kecilku yang
sangat dirindukan.
Semua telah sirna. Semua telah
kuhempaskan dalam jalanku dan takkan pernah ku rajut lagi menjadi sebuah
sesuatu yang sangat berharga.
“Iza...” suara Lukman membuyarkan
pengugatanku terhadap masa kanak-kanakku. Aku menghampirinya dan menyampaikan
maksud pertemuan kami.
“Maaf yah aku memutuskan pertemuan kita
disini. Aku ingin menikmati senja. Menghilangkan semuanya dalam tenggelamnya
senja sebelum aku menuju kenikmatan yang pak. Hamri tawarkan padaku,”
“Tidak apa-apa Za. Permintaanmu sudah aku
tunaikan. Aku telah menemukan laki-laki yang telah menolongmu dua hari yang
lalu. Namanya Isbullah. Hafizh Isbullah seorang mahasiswa dari Universitas
Hasanuddin. Ia bukan asli sini tapi dari luar kota Makassar.” terang Lukman
kepadaku. Ia tau banyak tentang laki-laki yang telah menolongku. Aku saja
namanya baru aku tahu atas penjelasan Lukman padahal ia telah menolongku.
“Dasar Iza. Mana rasa terima kasihmu?”
hardik ku pada diriku sendiri
“Ketemu dimana Man?” tanyaku sedikit
berbasa-basi
“Ketemu di depan masjid dekat kost mereka
tepatnya di jalan Yahya Mattang. Kayaknya dia orang alim yah Za, lebih tepat
ustad kali. Atau mungkin ia lulusan pesantren,”
“Terus apa peduliku dengan dia. Ia bukan
siapa bagiku. Kenal aja tidak jadi buat apa aku tahu identitasnya” protesku
pada Lukman.
“Bungkusan yang aku titip sudah
diberikan?”
“Sudah” Jawab Lukman sekenanya.
“Tapi.....” lanjutnya,
“Tapi aku sudah ganti Za dengan sebotol wiski,”
“Apa?” responku secara refleks
“Kok bisa dengan Wiski? Dapat darimana?
Gila kau Man?”
“Biasa dari Andri.”
“Tapi ia terima?” tanyaku penuh penasaran.
“Iya lah,”
“Kok bisa?” tanyaku kembali. Bukankah
Lukman tadi mengatakan bahwa ia terlihat seorang ustad. Tapi kenapa ia bisa
menerimanya? Apakah ia tidak tahu?
“Ia tidak tau kalau itu sebotol wiski
karena aku bungkus dalam bentuk bungkusan besar,”
“Gila kau Man” ucapku pada Lukman dan
mengakhiri perbincangan kami. Aku menuju ke tempat pak Hamri sementara kulihat
senja kini telah berlabuh dan suara adzan melantun menggema dari masjid Amirul Mukmini atau orang-orang lebih
sering mengenalnya dengan Masjid Terapung.
Aku tidak menghiraukan suara panggil Tuhan itu karena memang sudah lama aku
tidak mengenal Tuhan. Aku tidak pernah menginjakkan kaki ini menuju rumahNya
karena kumuak dengan pesan Tuhan itu yang mengalung di jagad raya dan aku muak
pada Tuhan yang telah meninggalkanku dan tidak menuntunku untuk menghadapkan
wajahku pada wajah-Nya. Aku muak dengan-Nya.
Namun hadiah wiski yang Lukman berikan
pada laki-laki yang bernama Hafizh Isbullah mengusik hatiku. Aku membayangkan
bagaimana reaksi dan raut mukanya mendapatkan hadiah barang haram dariku.
Tapi apa peduliku?
Iya tidak mengenalku. Jadi untuk apa aku memikirkannya?
Bukankah itu adalah tanda terima kasihku daripada tidak ada sama sekali
indikasi terima kasih yang kuberikan. Bukankah itu lebih baik? Egoku
membenarkan tindakan Lukman. Dan kini aku menuju kenikmatan semu yang telah
membuatku semakin terjatuh ke dasar jurang hitam yang paling dalam.
***
Comments
Post a Comment