Hidayah di Kaki Langit (Bag. 1)




Hadiah Wiski
L
abirin panjang terbentang luas dengan beraneka dan beragam lika-liku yang siap menghadang setiap insan yang tengah melakukan perjalanan. Semua akan menemuinya. Cepat atau lambat karena ada hukum alam yang berlaku. Seantero langit menjadi saksi atas prahara yang telah menjadi sebuah sejarah masa silam. Semua membentuk sejarahnya sendiri. Alam membentuk sejarahnya sendiri yang memberikan manfaat kepada penduduk bumi. Dan begitupun dengan aku membentuk sejarahku sendiri di perantauan yang telah aku jalani. Jejak-jejak rantau yang aku rajut dalam sebuah asa yang jauh dari pangkuan dan belaian mesra dari sanak famili.
Aku sendiri.
Tertatih-tatih dan terlunta-lunta dalam labirin panjangku yang kini telah mengukir sejarah kelam dalam mozaik hidupku. Kadang aku merasa muak dengan diriku sendiri. Kadang ingin kuhempaskan sepenuhnya diri ini ke dalam jurang penyesalan karena kutau kini aku telah menjadi bagian dari bongkahan-bongkahan tak berguna yang telah menjadi sampah masyarakat dalam pandangan sinis orang-orang yang tidak mengetahui kehidupanku yang sebenarnya.
Namun, dalam egoku sendiri yang memenuhi ruang sadarku, merasa bangga dengan apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku bangga dengan apa yang aku hasilkan. Aku bangga bisa memenuhi semua hasrat dan keinginanku. Semua telah kugenggam dalam kehendakku. Meskipun aku sadar bahwa Tuhan kelak akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang telah aku lakukan selama ini. Namun, semua yang berbau dan berkaitan dengan Tuhan aku tepiskan dalam egoku. Aku remukkan semua dalam satu kalimat. TUHAN TELAH MENINGGALKAN KU. Itu paradigma yang selama ini terpaut dalam hatiku. Selama ini Tuhan telah meninggalkanku dan membiarkanku terjun dalam lorong hitam. Namun, aku bersyukur tapi bukan pada Tuhan. Aku bersyukur pada diriku sendiri karena dengan tenggelamnya aku dalam lorong hitam itu telah mengenalkanku pada Riri, Andri, Lukman dan Rukia. Semua adalah temanku dan kami selalu kumpul bersama. Mereka adalah keluarga yang aku bentuk dalam perantauan ku.
Mentari telah condong ke barat, namun, aku masih bermalas-malasan dalam tempat tidur. Entah mengapa hari ini aku ingin sekali merebahkan tubuh dalam lantunan indah lagu-lagu cinta yang telah aku putar dalam DVD ku yang terletak di atas meja kamarku. Samar-samar suara Riri memanggilku namun aku sengaja atau pura-pura tidak mendengarkannya. Aku menghiraukannya dan kuingin panggilan Riri tidak terulang. Namun, semua harapanku hampa. Karena kembali kudengar suara Riri dengan suara yang lebih keras lagi.
“Iza,” aku tidak menghiraukan panggilan Riri. Aku masih memanjakan diriku dalam pembaringanku
“Iza.... dimanako?” kembali Riri memanggilku dengan panggilan akrab kami. Faiza Aliya Aziza. Itulah nama yang telah diberikan oleh orangtuaku waktu kecilku. Pada mulanya aku bangga dengan nama itu karena memiliki makna dan pengertian bahwa “Pemenang yang Tinggi dan Mulia,”. Itu arti dari namaku yang telah kutahu dari ibu ku. Namun, sekarang nama itu kian menjadi momok bagiku kala berkenalan dengan seseorang.
“Iza....” suara Riri membuatku risau dengan panggilannya.
“Yah,” aku menjawabnya dengan suara lirih yang kupaksakan. “Bangun mako Iza, sebentar lagi kamu harus bertemu dengan pak Hamri. Kamu lupa kah?” cerotos Riri terhadapku sambil mengingatkanku tentang pertemuanku dengan pak Hamri. Dengan perasaan yang sedikit lunglai aku bangun dari pembaringanku menuju kamar mandi.
“Mauko lagi kemana Iza?” tanya Riri saat melihatku melangkah meninggalkannya di dalam kamarku.
“Tidak ji Ri, mauja ke kamar mandi dulu cuci muka,” jawabku sambil terus melangkahkan kakiku menuju kamar mandi yang terletak sekitar 10 meter dari kamar tidurku.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 15.30 WITA
“Masih ada waktu,” bisikku dalam hati. Aku melanjutkan ke kamar mandi sementara Riri terlihat mempersiapkan pakaian yang akan aku kenahkan untuk pertemuanku dengan pak Hamri nanti malam.
***
“Ramdan, cepatlah nanti kita terlambat,” sahut Isbullah
“Tunggu sikitlah Is, adzan juga baru berlalu beberapa menit. Yakin saja kita tidak akan terlambat.” protes Ramdan
“Iya, masalahnya kamu terlalu bertele-tele,”
“Iya ustad, ini juga ane sudah selesai.” mereka berdua berjalan menuju masjid Al- Muhajirin untuk menunaikan kewajibannya sebagai abdi Allah. Mereka menyusuri lorong dan jalanan stapak untuk bisa sampai ke masjid Al- Muhajirin.
Selang beberapa saat mereka meleburkan diri dengan jama’ah. Membentuk sebuah shaf sebagai pemersatu dan kekompakkan mereka untuk menghadapkan wajahnya kepada Dzat yang Maha Mulia. Semua berpadu dalam kekhusyukkan sebagai bukti cinta mereka akan Tuhan dan pengharapan agar kelak mereka bisa bertemu dengan-Nya di sisi Allah yang Mulia.
“Is, abis ini antum ada agenda tidak?”  tanya Ramdan setelah mereka menunaikan sholat.
“Rencananya mau ke rumahnya ustad, tapi ustadnya lagi keluar makanya ane tunda minggu depan. Ada apa Ram?”
“Tidak ada apa-apa sekedar nanya aja. Hari ini kita di kost aja yah kita buat pisang keju,” ajak Ramdan. Isbullah menganggukkan kepala dan merekapun berlalu meninggalkan rumah Allah yang penuh berkah. Beberapa jama’ah masih terlihat bertafakkur di dalam masjid.
“Maaf boleh nanya?” hadang seorang laki-laki yang seumuran dengan mereka yang membuat langkah keduanya terhenti. Ramdan dan Isbullah tampak kebingungan karena mereka tidak sama sekali mengenal laki-laki tersebut
“Maaf dengan siapa? Ada yang bisa kami bantu?” tanya Isbullah untuk menghilangkan kebingungannya
“Dengan Isbullah?” tanya laki-laki tersebut
“Iya,” angguk Isbullah
“Ini ada titipan dari teman aku. Katanya terima kasih atas bantuannya dua hari yang lalu,” terang laki-laki tersebut sambil memberikan  sebuah bungkusan besar bercorak bunga kepada Isbullah.
“Kalau boleh tau nama temannya siapa?” kembali Isbullah menanyakan hal tersebut untuk menepis rasa penasarannya,
“Namanya ada terpampang di dalam bungkusan tersebut kok. Entar kalau udah dibuka pasti mas tau siapa ia. Kalau begitu aku pamit dulu mas, masih banyak urusan yang perlu aku selesaikan. Aku Lukman mas, mahasiswa Universitas Islam Negeri” jelas Lukman sambil melambaikan tangan dan meninggalkan mereka berdua
“Makasih mas,” Lukman tak mengubris Isbullah. Ia terus berlalu menjadi sebuah titik kecil dan hilang dari pandangan mereka berdua.
Isbullah dan Ramdan melanjutkan langkahnya menuju kostnya. Namun, hatinya masih di lingkupi rasa penasaran akan kehadiran Lukman dan sebuah bungkusan besar yang ia dapatkan. Ia membolak-balikkan ingatannya akan kejadian yang telah ia lewati dua hari yang lalu. Namun, hasilnya nihil karena rasa penasarannya lebih kuat dari kemampuan ingatannya.
“Siapa yah?” bisiknya pada dirinya sendiri
“Mas, jangan lupa dibagikan ke ane juga yah? Kan lumayan kalau isinya makanan bisa nyambungi hidup kita beberapa hari ke depan. Apalagi mahasiswa macam kita yang hidup dalam perantauan. Hehehehe,” celoteh Ramdan panjang lebar tentang angannya pada bungkusan besar tersebut.
“Iya akhi. Insya Allah kalau bermanfaat kita bagi-bagi sekalian dengan ikhwah yang lain. Yah bagi-bagi rezeki Allah. Kan hidup ini indah jika berbagi.”
***
Aku telah selesai memoles diriku dengan penampilan yang akan membuat pak. Hamri bertekut lutut di hadapanku karena kutau pak Hamri adalah lelaki mata keranjang yang doyang pada perempuan muda sepertiku. Dalam keseharianku aku memang selalu memperhatikan penampilanku karena kutau dari penampilanlah seseorang dapat menilai kita meskipun terkadang mereka keliru dalam interpretasi mereka karena penilaian yang hanya pada observasi semata pada satu sisi.
Aku bergegas menuju jalan Nusantara. Jalan yang menjadi titik awalku mengenal semua yang tidak pernah terlintas dalam benak fikirku. Namun, takdirlah yang telah membawaku kesana. Awalnya aku tidak menginginkan semua ini tapi tuntutanlah yang telah membuatku harus bertahan dan aku harus menyembunyikan identitasku dan memilih menjadi diri orang lain.
“Sungguh perih hidup ini,” bisikku pada diriku sendiri. Aku terkadang mengalami pengadukan emosi atas apa yang menimpahku namun aku harus bagaimana? Tak ada yang menunjukkan jalan padaku maka ku desain jalanku sendiri dengan pilihanku sendiri.
“Ri aku langsung ke jalan Nusantara yah. Jam 23.30 kamu jemput aku di tempat biasa yah.” pamitku pada Riri. Riri sahabatku yang sudah setahun lebih hidup bersamaku dalam satu atap.
“Kamu ngapain kesitu Za?”
“Yah ke pak. Hamri lah. Kemana lagi?” tanyaku dengan perasaan yang sedikit jengkel terhadap Riri yang kutau ia iseng bertanya seperti itu.
“Bukannya langsung di jemput di Cendrawasih?” tanya Riri dengan raut muka serius.
“Aku minta tidak usah dijemput. Aku minta sama pak. Hamri untuk berangkat sendiri. Soalnya aku masih ada urusan dengan Lukman dan kami janjian bertemu di jalan Nusantara. Dari situ baru ke tempatnya pak. Hamri. Mungkin diantar oleh Lukman atau aku naik ojek atau taksi,” jelasku pada Riri.
Senja mulai melirik dalam warnanya yang kembali memudar oleh jubah hitam yang sebentar lagi memulai perjalanannya. Semua kisah terekam oleh mata tajam senja yang akan kembali keperaduannya. Aku menikmati senja itu dalam perjalananku.
Aku ingin menikmati senja inin sebelum malam tiba. Tepat di pantai Losari, aku berhenti dan tak ingin melanjutkan perjalananku ke jalan Nusantara. Maka secepat kilat aku memencet tuts-tuts hp-ku untuk mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Lukman
Kita ketemu di pantai Losari saja. Aku sudah ada disini baru saja sampai. By Iza.
Itulah pesan singkat yang aku kirimkan ke Lukman. Aku memandangi senja sore ini sambil menunggu kedatangan Lukman. Lalu lalang beberapa pengunjung memadati dan menambah keramaian pantai Losari sore ini. Tak ada raut kesedihan yang terpancar dari wajah mereka. Aku berbaur dengan mereka menikmati semuanya dan mencoba menggambarkan raut kebahagian meskipun dengan sebuah kebohongan. Aku selalu membohongi diriku sendiri dan menjadi orang lain. Mungkin awan hitam merambahku dengan penuh kegembiraan karena aku telah menjelma menjadi sahabatnya yang telah ikut arus akan kemauannya. Sementara angin berbisik lirih pada awan-awan putih nan bersih akan keadaanku. Awan itu hanya menangis pilu melihat tingkahku tapi apa peduli. Ia hanyalah sebuah kapas raksasa yang tidak akan memberikan dan memenuhi hasratku. Meskipun ia menamparku dengan kuasanya namun aku tidak akan mengikutinya. Aku lebih tenang bersama dengan awan hitam itu. Ia memenuhi hasratku dengan cepat dan membawa pada puncak tertinggi dengan penilaian materialistik.
Aku masih sibuk memanjakan mataku dengan keindahan senja itu. Baru kali ini aku menikmatinya dengan sangat lama. Namun anehnya mengapa semakin aku menatap senja sore itu semakin bayangan masa kecilku berkelabat menari dalam pelupuk mataku. Kutepiskan semuanya dalam keegoisanku karena kutahu aku bukan lagi anak kecil dan tidak ada gunanya aku mengingat semua. Kini semuanya telah menjadi serpihan-serpihan cerita masa lalu yang tidak ada gunanya aku mengenangnya. Tidak ada lagi harapan.
Tidak ada lagi mimpi-mimpi yang ku ukir bersama teman sebayaku.
Tidak ada lagi canda tawa kecilku yang sangat dirindukan.
Semua telah sirna. Semua telah kuhempaskan dalam jalanku dan takkan pernah ku rajut lagi menjadi sebuah sesuatu yang sangat berharga.
“Iza...” suara Lukman membuyarkan pengugatanku terhadap masa kanak-kanakku. Aku menghampirinya dan menyampaikan maksud pertemuan kami.
“Maaf yah aku memutuskan pertemuan kita disini. Aku ingin menikmati senja. Menghilangkan semuanya dalam tenggelamnya senja sebelum aku menuju kenikmatan yang pak. Hamri tawarkan padaku,”
“Tidak apa-apa Za. Permintaanmu sudah aku tunaikan. Aku telah menemukan laki-laki yang telah menolongmu dua hari yang lalu. Namanya Isbullah. Hafizh Isbullah seorang mahasiswa dari Universitas Hasanuddin. Ia bukan asli sini tapi dari luar kota Makassar.” terang Lukman kepadaku. Ia tau banyak tentang laki-laki yang telah menolongku. Aku saja namanya baru aku tahu atas penjelasan Lukman padahal ia telah menolongku.
“Dasar Iza. Mana rasa terima kasihmu?” hardik ku pada diriku sendiri
“Ketemu dimana Man?” tanyaku sedikit berbasa-basi
“Ketemu di depan masjid dekat kost mereka tepatnya di jalan Yahya Mattang. Kayaknya dia orang alim yah Za, lebih tepat ustad kali. Atau mungkin ia lulusan pesantren,”
“Terus apa peduliku dengan dia. Ia bukan siapa bagiku. Kenal aja tidak jadi buat apa aku tahu identitasnya” protesku pada Lukman.
“Bungkusan yang aku titip sudah diberikan?”
“Sudah” Jawab Lukman sekenanya.
“Tapi.....” lanjutnya,
“Tapi aku sudah ganti Za dengan sebotol wiski,”
“Apa?” responku secara refleks
“Kok bisa dengan Wiski? Dapat darimana? Gila kau Man?”
“Biasa dari Andri.”
“Tapi ia terima?” tanyaku penuh penasaran.
“Iya lah,”
“Kok bisa?” tanyaku kembali. Bukankah Lukman tadi mengatakan bahwa ia terlihat seorang ustad. Tapi kenapa ia bisa menerimanya? Apakah ia tidak tahu?
“Ia tidak tau kalau itu sebotol wiski karena aku bungkus dalam bentuk bungkusan besar,”
“Gila kau Man” ucapku pada Lukman dan mengakhiri perbincangan kami. Aku menuju ke tempat pak Hamri sementara kulihat senja kini telah berlabuh dan suara adzan melantun menggema dari masjid Amirul Mukmini atau orang-orang lebih sering mengenalnya dengan Masjid Terapung. Aku tidak menghiraukan suara panggil Tuhan itu karena memang sudah lama aku tidak mengenal Tuhan. Aku tidak pernah menginjakkan kaki ini menuju rumahNya karena kumuak dengan pesan Tuhan itu yang mengalung di jagad raya dan aku muak pada Tuhan yang telah meninggalkanku dan tidak menuntunku untuk menghadapkan wajahku pada wajah-Nya. Aku muak dengan-Nya.
Namun hadiah wiski yang Lukman berikan pada laki-laki yang bernama Hafizh Isbullah mengusik hatiku. Aku membayangkan bagaimana reaksi dan raut mukanya mendapatkan hadiah barang haram dariku.
Tapi apa peduliku?
Iya tidak mengenalku. Jadi untuk apa aku memikirkannya? Bukankah itu adalah tanda terima kasihku daripada tidak ada sama sekali indikasi terima kasih yang kuberikan. Bukankah itu lebih baik? Egoku membenarkan tindakan Lukman. Dan kini aku menuju kenikmatan semu yang telah membuatku semakin terjatuh ke dasar jurang hitam yang paling dalam.
***

Comments