Hidayah di Kaki Langit (Bag. 2)




Senyum Dalam Tangis
s
enja telah berlabuh dan kini kelam malam telah terbentang tanpa diiringi dengan kerlipan bintang. Malam ini semua telah meninggalkan ku dalam kesendirian diri. Aku kesepian. Namun, apa yang telah aku terima malam ini atas penawaran pak Hamri harus aku tepati. Aku telah mendapatkan Tiket Internasional yang menjadi simbol bahwa, malam ini aku akan menemani dan menyerahkan tubuhku dengan pak. Hamri di sebuah Hotel Berbintang di kota Angin Mammiri. Aku berjalan masuk loby hotel dan ternyata tepat dugaanku, pak Hamri telah menungguku dengan pakaian necis ala anak muda.
“Dasar laki-laki pemuja nafsu.” Gerutukku dalam hati. Kami melewati loby hotel dan menuju kamar 105 di lantai atas. Ia mengandeng tanganku dengan nafsunya yang menggebuh, sementara, aku dengan paksa dan hati yang merintih. Namun, apa dayaku, aku hanya tersenyum dan memasrahkan diriku padanya untuk memenuhi nafsunya.
“Iza....” panggilnya kala kami memasuki kamar 105. Pangilannya yang penuh nafsu membuatku ingin mengeluarkan seluruh isi dalam perutku sebab aku jijik dengan pak Hamri dan lebih jijik lagi dengan diriku yang menjadi santapan nikmat laki-laki pemuja nafsu. Namun siapa aku? Aku telah memutuskan pilihanku dan pilihanku seperti ini. Pilihan menjadi seorang pelacur. Atau orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Pekerja Seks Komersial (PSK), apalah arti kata pekerja jika itu adalah kerjaan yang menghinakan manusia. Pekerjaan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah yang suci.
“Aku ke kamar mandi dulu pak,” pintaku pada pak Hamri. Entah kenapa malam ini aku muak dengan pekerjaan ini. Aku muak dengan diriku sendiri namun aku tetap melakukannya. Aku menatap diriku dalam cermin di yang disediakan pegawai hotel di dalam kamar. Aku menatap diriku sangat lama hingga kudengar pak Hamri memanggilku dengan panggilan yang tak kenal kata sabar. Mungkin ia sudah berada pada titik tegang hingga tak mampu lagi menahahnnya dan ingin meluapkannya padaku yang tak pernah aku nikmati. Aku tersenyum namun tersenyum dalam tangis.
Pak Hamri menghampiriku di dalam kamar mandi dan tanpa ada belas kasih padaku ia langsung menerkaku bagai serigala kelaparan yang menerka kijang yang asyik berlari dengan kijang lain. Aku kesakitan dan sempat menolak dengan menarik diri namun dengan kekuatan penuh ia lebih kuat menarikku.
“Sudahlah Iza tidak perlu kamu malu dengan bapak. Bukankah ini bukan pertama kalinya kamu melakukannya? Jadi biarkan bapak menikmati tubuhmu yang menjadi buah bibir dikalangan laki-laki yang telah duluan menikmatinya. Malam ini kamu puaskan bapak dan kita akan bercinta sepanjang malam.” Ujar pak Hamri yang membuat hatiku tersayat pedih. Ia sangat meremehkanku dan tidak lagi memandangku sebagai manusia yang harus mendapatkan belas kasih dan penghormatan. Tapi, semua itu tak lagi berguna untuk, aku terlanjur tenggelam dalam dunia kelam ini.
“Iza....” panggilnya penuh nafsu yang memuncak. Aku hanya memasrahkan tubuhku menjadi santapannya dengan lahap atas kehendaknya dan tak sedikitpun aku menikmati. Sesekali aku menatap wajahnya yang tersenyum puas sebab berhasil mencabit-cabit diriku dan kehormatanku yang seharusnya aku jaga sebagai perempuan yang fitrahnya harus menjaga kehormatan dan kesucian diri hingga datang laki-laki yang akan mempersuntingnya untuk mendapatkan kesucian dirinya.
Seulas senyum aku gambarkan dengan sangat terpaksa. Dan kembali aku tersenyum dalam tangis memuaskan nafsu bejat laki-laki hidung belang bernama Hamri.
***
“Masya Allah,” kaget Isbullah kala membuka bungkusan besar yang ia dapatkan dari laki-laki yang mengaku Lukman.
“Ada apa akh?” tanya Ramdan sambil berlari kecil menuju Isbullah.
“Ini,” sodor Isbullah kepada Ramdan isi bungkusan tersebut. Ramdan mengerutkan kening sebab tak menyangka bahwa isi dari bungkusan besar tersebut adalah sebotol wiski.
“Kurang ajar sekali akh. Siapa namanya akhi?” hardik Ramdan sambil menanyakan nama pengirim bingkisan tersebut. Isbullah membalik-balikkan bungkusan tersebut untuk mencari nama pengirimnya. Ia menemukan sepotong kertas bertulis tinta biru.
“Langit,” Ramdan membaca kertas tersebut namun ia tak mengerti sebab kertas tersebut hanya bertulis LANGIT.
“Mungkin itu namanya akh,” jawab Isbullah untuk menghilangkan kebingungannya.
“Langit? Aku baru dengar ada nama orang dengan nama langit. Aneh.”
“Yah entahlah.”
“Emmm,”
“Tak penting masalah nama pengirimnya akh yang terpenting adalah kita segera singkirkan botol haram tersebut dari hadapan kita. Takutnya semakin lama botol ini ada di sini maka akan terjadi fitnah,” saran Isbullah.
“Iya. Kita pecahkan saja dan membuang serpihan pecahannya di sudut belakang. Ada baiknya kita lakukan sekarang sebelum ada orang lain yang melihatnya,”
“Na’am akhi.” Mereka berjalan menuju sudut belakang untuk memecahkan botol yang haram itu. Ia lebih bergerak cepat untuk menghindari munculnya pandangan lain dari masyarakat yang tidak ia inginkan.
“Ya Allah lindungi hamba dari kejahatan hamba-Mu yang dapat menggelincirkan diriku pada jalan yang tidak Engkau ridhoi.”
***
 BERSAMBUNG ...

Comments