Senyum Dalam Tangis
s
|
enja telah berlabuh dan kini kelam malam
telah terbentang tanpa diiringi dengan kerlipan bintang. Malam ini semua telah
meninggalkan ku dalam kesendirian diri. Aku kesepian. Namun, apa yang telah aku
terima malam ini atas penawaran pak Hamri harus aku tepati. Aku telah
mendapatkan Tiket Internasional yang
menjadi simbol bahwa, malam ini aku akan menemani dan menyerahkan tubuhku
dengan pak. Hamri di sebuah Hotel Berbintang di kota Angin Mammiri. Aku
berjalan masuk loby hotel dan ternyata tepat dugaanku, pak Hamri telah
menungguku dengan pakaian necis ala anak muda.
“Dasar laki-laki pemuja nafsu.” Gerutukku
dalam hati. Kami melewati loby hotel dan menuju kamar 105 di lantai atas. Ia mengandeng
tanganku dengan nafsunya yang menggebuh, sementara, aku dengan paksa dan hati
yang merintih. Namun, apa dayaku, aku hanya tersenyum dan memasrahkan diriku
padanya untuk memenuhi nafsunya.
“Iza....” panggilnya kala kami memasuki
kamar 105. Pangilannya yang penuh nafsu membuatku ingin mengeluarkan seluruh
isi dalam perutku sebab aku jijik dengan pak Hamri dan lebih jijik lagi dengan
diriku yang menjadi santapan nikmat laki-laki pemuja nafsu. Namun siapa aku?
Aku telah memutuskan pilihanku dan pilihanku seperti ini. Pilihan menjadi
seorang pelacur. Atau orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Pekerja Seks
Komersial (PSK), apalah arti kata pekerja jika itu adalah kerjaan yang
menghinakan manusia. Pekerjaan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah
yang suci.
“Aku ke kamar mandi dulu pak,” pintaku
pada pak Hamri. Entah kenapa malam ini aku muak dengan pekerjaan ini. Aku muak
dengan diriku sendiri namun aku tetap melakukannya. Aku menatap diriku dalam
cermin di yang disediakan pegawai hotel di dalam kamar. Aku menatap diriku
sangat lama hingga kudengar pak Hamri memanggilku dengan panggilan yang tak
kenal kata sabar. Mungkin ia sudah berada pada titik tegang hingga tak mampu
lagi menahahnnya dan ingin meluapkannya padaku yang tak pernah aku nikmati. Aku
tersenyum namun tersenyum dalam tangis.
Pak Hamri menghampiriku di dalam kamar
mandi dan tanpa ada belas kasih padaku ia langsung menerkaku bagai serigala
kelaparan yang menerka kijang yang asyik berlari dengan kijang lain. Aku
kesakitan dan sempat menolak dengan menarik diri namun dengan kekuatan penuh ia
lebih kuat menarikku.
“Sudahlah Iza tidak perlu kamu malu
dengan bapak. Bukankah ini bukan pertama kalinya kamu melakukannya? Jadi
biarkan bapak menikmati tubuhmu yang menjadi buah bibir dikalangan laki-laki
yang telah duluan menikmatinya. Malam ini kamu puaskan bapak dan kita akan
bercinta sepanjang malam.” Ujar pak Hamri yang membuat hatiku tersayat pedih.
Ia sangat meremehkanku dan tidak lagi memandangku sebagai manusia yang harus
mendapatkan belas kasih dan penghormatan. Tapi, semua itu tak lagi berguna
untuk, aku terlanjur tenggelam dalam dunia kelam ini.
“Iza....” panggilnya penuh nafsu yang
memuncak. Aku hanya memasrahkan tubuhku menjadi santapannya dengan lahap atas
kehendaknya dan tak sedikitpun aku menikmati. Sesekali aku menatap wajahnya
yang tersenyum puas sebab berhasil mencabit-cabit diriku dan kehormatanku yang
seharusnya aku jaga sebagai perempuan yang fitrahnya harus menjaga kehormatan
dan kesucian diri hingga datang laki-laki yang akan mempersuntingnya untuk
mendapatkan kesucian dirinya.
Seulas senyum aku gambarkan dengan sangat
terpaksa. Dan kembali aku tersenyum dalam tangis memuaskan nafsu bejat
laki-laki hidung belang bernama Hamri.
***
“Masya Allah,” kaget Isbullah kala membuka
bungkusan besar yang ia dapatkan dari laki-laki yang mengaku Lukman.
“Ada apa akh?” tanya Ramdan sambil
berlari kecil menuju Isbullah.
“Ini,” sodor Isbullah kepada Ramdan isi
bungkusan tersebut. Ramdan mengerutkan kening sebab tak menyangka bahwa isi dari
bungkusan besar tersebut adalah sebotol wiski.
“Kurang ajar sekali akh. Siapa namanya
akhi?” hardik Ramdan sambil menanyakan nama pengirim bingkisan tersebut.
Isbullah membalik-balikkan bungkusan tersebut untuk mencari nama pengirimnya.
Ia menemukan sepotong kertas bertulis tinta biru.
“Langit,” Ramdan membaca kertas tersebut
namun ia tak mengerti sebab kertas tersebut hanya bertulis LANGIT.
“Mungkin itu namanya akh,” jawab Isbullah
untuk menghilangkan kebingungannya.
“Langit? Aku baru dengar ada nama orang
dengan nama langit. Aneh.”
“Yah entahlah.”
“Emmm,”
“Tak penting masalah nama pengirimnya akh
yang terpenting adalah kita segera singkirkan botol haram tersebut dari hadapan
kita. Takutnya semakin lama botol ini ada di sini maka akan terjadi fitnah,” saran
Isbullah.
“Iya. Kita pecahkan saja dan membuang
serpihan pecahannya di sudut belakang. Ada baiknya kita lakukan sekarang
sebelum ada orang lain yang melihatnya,”
“Na’am akhi.” Mereka berjalan menuju
sudut belakang untuk memecahkan botol yang haram itu. Ia lebih bergerak cepat
untuk menghindari munculnya pandangan lain dari masyarakat yang tidak ia
inginkan.
“Ya Allah lindungi hamba dari kejahatan
hamba-Mu yang dapat menggelincirkan diriku pada jalan yang tidak Engkau
ridhoi.”
***
BERSAMBUNG ...
Comments
Post a Comment