Hidayah di Kaki Langit (Bag. 3)



Air Mata Cinta
A
ku membuang tubuhku di atas tempat tidurku, tanpa mempedulikan di sekelilingku sebab semua tubuh ini remuk redam bagaikan ditindih beban yang sangat berat. Aku sangat kelelahan. Sangat lelah. Kepalaku sangat sakit. Entah apa yang Pak Hamri lakukan padaku? Namun aku tak mau sedekitpun mengingatnya. Aku tak mau lagi menemuinya, apalagi menerima tawaran Tiket Internasional yang ia siapkan untukku. Sayup-sayup mataku kurasakan mengantarku berlabuh dalam lautan mimpi tidurku. Dan aku pun tertelap.
Detak jam dinding dalam kamarku samar kudengarkan saat mataku sulit untuk kubuka. Entah berapa jam sudah aku tertidur sebab yang kulihat dalam angka jam dinding tersebut menunjukkan angka delapan. Apakah itu angka delapan untuk malam ataukah angkah delapan untuk pagi. Aku tidak bisa memastikannya sebab kepalaku masing pusing kurasa. Aku kuatkan untuk bangkit dan menoleh ke jendela.
“Ah sudah malam.” Ujarku kala membuka jendela kamar. Di luar sana kulihat gerimis masih berjatuhan namun lebatnya hujan telah berlalu.
“Hujan,”ujarku kembali. Ada kerinduan yang aku rasakan kala melihat hujan. Kerinduan kepada ibuku di kampung. Tapi kenapa? Kenapa baru kali ini aku merinduinya?
“Ibu.” Yah aku rindu ibuku. Ibu yang telah melahirkanku dan membesarkanku dengan air mata namun air mata cinta. Ibu yang selalu menginginkan kebaikanku. Dan ibu yang selalu percaya padaku. Aku masih melihat gerimis dan mencoba mengenang semua ingatanku bersama dengan ibu. Aku bahkan masih ingat kala ibu mengantarkan kepergianku dengan linangan air mata saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di tanah Daeng.
“Iza, apakah Iza yakin akan melanjutkan pendidikan di kota Makassar?” tanya ibu. Ia menatapku untuk memastikan bahwa aku yakin akan keputusanku.
“Yah bu, Iza yakin. Insya Allah Iza akan sukses di sana,” ujarku sepenuh hati pada ibu.
“Kalau Iza yakin dengan keputusan ini, ibu hanya mampu merestui dan merelakan engkau nak. Ingat kota Makassar adalah kota yang besar tidak seperti kampung kita. Di sana lebih banyak godaannya untuk melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kita lakukan. Iza jaga diri dan tetap ingat Allah.” Nasehat ibu. Aku menangis mengingat pesan ibu. Pesan yang khawatir pada anak perempuannya yang kala itu ingin pergi ke kota besar yang banyak pengaruh dan godaan untuk melakukan pelanggaran pada perintah Allah.
“Ibu, Iza rindu dengan ibu,” rintihku sambil mengarahkan pandangan ke depan. Kulihat seorang ibu mengejar anaknya di bawa gerimis yang masih berjatuhan namun anak tersebut tidak memperdulikannya sebab ia lebih suka menikmati indahnya gerimis di malam hari ini daripada tidur di pangkuan ibunya.
Bintang dan rembulan enggang untuk menampakkan sinarnya sebab ia terhalang oleh mendung hingga malam yang masih menunjukkan pukul delapan sangat kelam. Aku tidak bergeming dari tempatku sebab kuingin mencurahkan kerinduanku pada ibu dengan menikmati rintitan bening dari langit.
“Ya Allah jaga ibuku,” aku berdoa untuk ibu. Untuk pertama kalinya aku mengucapkan nama Tuhan dalam hidupku selama aku terjung dan menghempaskan diriku pada dunia yang aku pilih sendiri. Ah adakah Tuhan mendengar doa seorang perempuan yang terlanjur kotor sepertiku? Entahlah, aku tidak ingin memikirnya semua itu lebih-lebih lagi aku tidak ingin memikirkan Tuhan dalam hidupku.
Wajah ibuku terbayang seiring dengan berhentinya gerimis. Kudengarkan isakan haru dari ibu. Air mata cinta. Air mata cinta yang ia alirkan membasahi wajahnya kala itu dan kudengar sangat jelas isakan tangisnya saat laju kendaraan hendak meninggalkan ibuku dan meninggalkan kampung kelahiranku.
“Iza jaga diri baik-baik. Ibu pasti akan merindukanmu nak,” isak ibuku kala itu.
“Iza juga akan merindukan ibu. Ibu jaga diri baik-baik dan jangan terlalu memaksakan diri. Ibu jangan terlalu memikirkan Iza, insya Allah Iza akan baik-baik di sana bu,” kataku pada ibu untuk meyakinkannya. Aku memeluk erat tubuhnya yang mulai keriput dan mencium tangannya. Sangat lama hingga punggungku kurasakan basah oleh air mata cinta yang menitik deras tak terbendung lagi. Aku berpamitan dan meninggalkan ibu. Laju kendaraan meninggalkan ibuku yang melambaikan tangannya. Aku menoreh kebelakang untuk melihat wajah ibu yang terakhir kalinya sebelum aku pergi meninggalkannya untuk waktu yang sangat lama. Kepergiaanku diiringi dengan tetesan air bening dari langit. Lambat laung tetesan yang tadinya hanya gerimis kini berubah menjadi hujan. Hujan yang snagat lebat.
***
Jam dinding kamarku kini menunjukkan pukul 23.30 WITA. Aku masih belum bisa menutup mataku dan hanya mondar-mandir dalam kamar.
“Ada baiknya aku keluar menikmati malam,” ajakku pada diriku sendiri. Aku mencoba berdamai dengan diriku malam ini untuk menikmati sesuatu yang jarang aku nikmati. Aku keluar dari rumah kost dan berjalan di jalan utama sementara lalu lalang kendaraan masih ramai meski sudah larut malam.
“Kota yang penuh dengan glamor dunia.” Ujarku kala menikmati malam yang bertabur bintang. Gedung menjulang tinggi dan tertata rapi. Sementara suara bising dari kendaraan bukan lagi irama yang asing bagiku sebab sudah 3 tahun lebih aku di kota tersebut. Aku sudah sangat kenal dengan kota ini. Kebudayaan, penduduknya, dan jalan semua sudah aku hafal di luar kelapa.
Malam semakin larut namun kendaraan tak berhenti berlalu lalang. Aku kadang berfikir dari mana mereka semua? Kenapa masih menempuh perjalanan selarut ini? Bukankah berada dalam rumah itu lebih baik? Ehhmmm.... itu hanyalah pertanyaanku yang tak penting. Aku terus berjalan dan mencari warung yang masih buka. Aku baru sadar ternyata aku belum menyempatkan makan sebab semenjak aku meninggalkan hotel tersebut aku langsung tertidur. Pantaslah aku merasa lapar.
Seratus meter dari tempatku berdiri aku melihat sebuah warung Lestari masih terbuka meskipun tidak terlalu ramai dari pengunjung. Aku berjalan menuju warung tersebut namun terlebih dahulu aku memeriksa kantong celanaku memastikan bahwa ada uang yang terselip sebab aku tidak membawa dompet pemberian Riri sebagai kado Ulang Tahunku saat itu.
Aku merogoh uang lembaran dua puluh ribu dan uang sepuluh ribu.
“Mas, nasi lalapannya,” pesanku dengan bapak paruh baya yang dipanggil mas oleh pengunjung. Akupun ikut memanggilnya dengan sebutan “Mas” meskipun aku tidak tahu apakah ia orang Jawa atau asli pribumi dari kota Angin Mammiri.
“Pake ayam atau ikan mbak?” tanyanya dengan ramah sambil tersenyum simpul.
“Ikan mas.” Jawabku sambil meneguk air putih yang tersedia di meja makan.
Sepuluh menit aku menunggu datangnya makanan pesananku, akhirnya sampai jua. Aku melahapnya dengan cepat sebab perut sedari tadi meronta meminta haknya. Aku menikmatinya sambil kudengar lagu cinta yang didendangkan oleh salah satu artis ternama ibu kota dari radio pemilik warung.
“Asyik juga neh warung.” Bisikku dalam hati. Aku mengatakan asyik sebab dekorasi tempat duduknya sangat romantis dengan perpaduan warna merah jambu dengan merah maron. Aku semakin menikmati makananku hingga lahapan dan suapan terakhir. Kurasakan mataku kembali merontah untuk tertutup namun aku paksa sebab aku ingin kembali menikmati perjalanannku. Namun semuanya sia-sia saja sebab mata ini tak bisa lagi diajak untuk kompromi. Maka aku memanggil pemilik warung untuk membayar makanan yang telah aku pesan.
“Bukankah itu laki-laki yang saat itu?” tuturku dalam hati kala kulihat laki-laki yang telah menolongko tiga hari yang lalu.
“Iya benar. Dia laki-laki yang saat itu. Apakah dia bekerja di sini?” tanyaku kembali. Namun aku tidak bisa menjawabnya, aku hanya meraba saja tentang dia. Kembali aku mengarahkan pandanganku untuk menyakinkan diriku.
“Benar. Dialah orangnya. Dialah laki-laki yang telah menolongku.” Ujarku penuh keyakinan.
***
 BERSAMBUNG ...

Comments