Air Mata Cinta
A
|
ku membuang tubuhku di atas tempat
tidurku, tanpa mempedulikan di sekelilingku sebab semua tubuh ini remuk redam
bagaikan ditindih beban yang sangat berat. Aku sangat kelelahan. Sangat lelah.
Kepalaku sangat sakit. Entah apa yang Pak Hamri lakukan padaku? Namun aku tak
mau sedekitpun mengingatnya. Aku tak mau lagi menemuinya, apalagi menerima
tawaran Tiket Internasional yang ia
siapkan untukku. Sayup-sayup mataku kurasakan mengantarku berlabuh dalam lautan
mimpi tidurku. Dan aku pun tertelap.
Detak jam dinding dalam kamarku samar
kudengarkan saat mataku sulit untuk kubuka. Entah berapa jam sudah aku tertidur
sebab yang kulihat dalam angka jam dinding tersebut menunjukkan angka delapan.
Apakah itu angka delapan untuk malam ataukah angkah delapan untuk pagi. Aku
tidak bisa memastikannya sebab kepalaku masing pusing kurasa. Aku kuatkan untuk
bangkit dan menoleh ke jendela.
“Ah sudah malam.” Ujarku kala membuka
jendela kamar. Di luar sana kulihat gerimis masih berjatuhan namun lebatnya
hujan telah berlalu.
“Hujan,”ujarku kembali. Ada kerinduan
yang aku rasakan kala melihat hujan. Kerinduan kepada ibuku di kampung. Tapi
kenapa? Kenapa baru kali ini aku merinduinya?
“Ibu.” Yah aku rindu ibuku. Ibu yang
telah melahirkanku dan membesarkanku dengan air mata namun air mata cinta. Ibu
yang selalu menginginkan kebaikanku. Dan ibu yang selalu percaya padaku. Aku
masih melihat gerimis dan mencoba mengenang semua ingatanku bersama dengan ibu.
Aku bahkan masih ingat kala ibu mengantarkan kepergianku dengan linangan air
mata saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di tanah Daeng.
“Iza, apakah Iza yakin akan melanjutkan
pendidikan di kota Makassar?” tanya ibu. Ia menatapku untuk memastikan bahwa
aku yakin akan keputusanku.
“Yah bu, Iza yakin. Insya Allah Iza akan
sukses di sana,” ujarku sepenuh hati pada ibu.
“Kalau Iza yakin dengan keputusan ini,
ibu hanya mampu merestui dan merelakan engkau nak. Ingat kota Makassar adalah
kota yang besar tidak seperti kampung kita. Di sana lebih banyak godaannya
untuk melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kita lakukan. Iza jaga diri dan
tetap ingat Allah.” Nasehat ibu. Aku menangis mengingat pesan ibu. Pesan yang
khawatir pada anak perempuannya yang kala itu ingin pergi ke kota besar yang
banyak pengaruh dan godaan untuk melakukan pelanggaran pada perintah Allah.
“Ibu, Iza rindu dengan ibu,” rintihku
sambil mengarahkan pandangan ke depan. Kulihat seorang ibu mengejar anaknya di
bawa gerimis yang masih berjatuhan namun anak tersebut tidak memperdulikannya
sebab ia lebih suka menikmati indahnya gerimis di malam hari ini daripada tidur
di pangkuan ibunya.
Bintang dan rembulan enggang untuk
menampakkan sinarnya sebab ia terhalang oleh mendung hingga malam yang masih
menunjukkan pukul delapan sangat kelam. Aku tidak bergeming dari tempatku sebab
kuingin mencurahkan kerinduanku pada ibu dengan menikmati rintitan bening dari
langit.
“Ya Allah jaga ibuku,” aku berdoa untuk
ibu. Untuk pertama kalinya aku mengucapkan nama Tuhan dalam hidupku selama aku
terjung dan menghempaskan diriku pada dunia yang aku pilih sendiri. Ah adakah
Tuhan mendengar doa seorang perempuan yang terlanjur kotor sepertiku? Entahlah,
aku tidak ingin memikirnya semua itu lebih-lebih lagi aku tidak ingin
memikirkan Tuhan dalam hidupku.
Wajah ibuku terbayang seiring dengan
berhentinya gerimis. Kudengarkan isakan haru dari ibu. Air mata cinta. Air mata
cinta yang ia alirkan membasahi wajahnya kala itu dan kudengar sangat jelas
isakan tangisnya saat laju kendaraan hendak meninggalkan ibuku dan meninggalkan
kampung kelahiranku.
“Iza jaga diri baik-baik. Ibu pasti akan
merindukanmu nak,” isak ibuku kala itu.
“Iza juga akan merindukan ibu. Ibu jaga
diri baik-baik dan jangan terlalu memaksakan diri. Ibu jangan terlalu
memikirkan Iza, insya Allah Iza akan baik-baik di sana bu,” kataku pada ibu
untuk meyakinkannya. Aku memeluk erat tubuhnya yang mulai keriput dan mencium
tangannya. Sangat lama hingga punggungku kurasakan basah oleh air mata cinta
yang menitik deras tak terbendung lagi. Aku berpamitan dan meninggalkan ibu.
Laju kendaraan meninggalkan ibuku yang melambaikan tangannya. Aku menoreh
kebelakang untuk melihat wajah ibu yang terakhir kalinya sebelum aku pergi
meninggalkannya untuk waktu yang sangat lama. Kepergiaanku diiringi dengan
tetesan air bening dari langit. Lambat laung tetesan yang tadinya hanya gerimis
kini berubah menjadi hujan. Hujan yang snagat lebat.
***
Jam dinding kamarku kini menunjukkan
pukul 23.30 WITA. Aku masih belum bisa menutup mataku dan hanya mondar-mandir
dalam kamar.
“Ada baiknya aku keluar menikmati malam,”
ajakku pada diriku sendiri. Aku mencoba berdamai dengan diriku malam ini untuk
menikmati sesuatu yang jarang aku nikmati. Aku keluar dari rumah kost dan
berjalan di jalan utama sementara lalu lalang kendaraan masih ramai meski sudah
larut malam.
“Kota yang penuh dengan glamor dunia.”
Ujarku kala menikmati malam yang bertabur bintang. Gedung menjulang tinggi dan
tertata rapi. Sementara suara bising dari kendaraan bukan lagi irama yang asing
bagiku sebab sudah 3 tahun lebih aku di kota tersebut. Aku sudah sangat kenal
dengan kota ini. Kebudayaan, penduduknya, dan jalan semua sudah aku hafal di
luar kelapa.
Malam semakin larut namun kendaraan tak
berhenti berlalu lalang. Aku kadang berfikir dari mana mereka semua? Kenapa
masih menempuh perjalanan selarut ini? Bukankah berada dalam rumah itu lebih
baik? Ehhmmm.... itu hanyalah pertanyaanku yang tak penting. Aku terus berjalan
dan mencari warung yang masih buka. Aku baru sadar ternyata aku belum
menyempatkan makan sebab semenjak aku meninggalkan hotel tersebut aku langsung
tertidur. Pantaslah aku merasa lapar.
Seratus meter dari tempatku berdiri aku
melihat sebuah warung Lestari masih terbuka meskipun tidak terlalu ramai dari
pengunjung. Aku berjalan menuju warung tersebut namun terlebih dahulu aku
memeriksa kantong celanaku memastikan bahwa ada uang yang terselip sebab aku
tidak membawa dompet pemberian Riri sebagai kado Ulang Tahunku saat itu.
Aku merogoh uang lembaran dua puluh ribu
dan uang sepuluh ribu.
“Mas, nasi lalapannya,” pesanku dengan
bapak paruh baya yang dipanggil mas oleh pengunjung. Akupun ikut memanggilnya
dengan sebutan “Mas” meskipun aku tidak tahu apakah ia orang Jawa atau asli
pribumi dari kota Angin Mammiri.
“Pake ayam atau ikan mbak?” tanyanya
dengan ramah sambil tersenyum simpul.
“Ikan mas.” Jawabku sambil meneguk air
putih yang tersedia di meja makan.
Sepuluh menit aku menunggu datangnya
makanan pesananku, akhirnya sampai jua. Aku melahapnya dengan cepat sebab perut
sedari tadi meronta meminta haknya. Aku menikmatinya sambil kudengar lagu cinta
yang didendangkan oleh salah satu artis ternama ibu kota dari radio pemilik
warung.
“Asyik juga neh warung.” Bisikku dalam
hati. Aku mengatakan asyik sebab dekorasi tempat duduknya sangat romantis
dengan perpaduan warna merah jambu dengan merah maron. Aku semakin menikmati
makananku hingga lahapan dan suapan terakhir. Kurasakan mataku kembali merontah
untuk tertutup namun aku paksa sebab aku ingin kembali menikmati perjalanannku.
Namun semuanya sia-sia saja sebab mata ini tak bisa lagi diajak untuk kompromi.
Maka aku memanggil pemilik warung untuk membayar makanan yang telah aku pesan.
“Bukankah itu laki-laki yang saat itu?”
tuturku dalam hati kala kulihat laki-laki yang telah menolongko tiga hari yang
lalu.
“Iya benar. Dia laki-laki yang saat itu.
Apakah dia bekerja di sini?” tanyaku kembali. Namun aku tidak bisa menjawabnya,
aku hanya meraba saja tentang dia. Kembali aku mengarahkan pandanganku untuk
menyakinkan diriku.
“Benar. Dialah orangnya. Dialah laki-laki
yang telah menolongku.” Ujarku penuh keyakinan.
***
BERSAMBUNG ...
Comments
Post a Comment