Hidayah di Kaki Langit (Bag. 4)



Di Bawah Petala Langit
A
ku menikmati pagi dengan suguhan teh hangat dan kripik kentang dari Riri. Aku merasa tubuhku lebih enakkan setelah semalam tertidur pulas. Riri pergi ke taman bersama dengan teman-teman kampus.
“Sudah berapa lama aku tak pernah masuk kampus?” tanyaku pada diriku sendiri. Sudah lama aku tak pernah menginjakkan kaki ini di tempat yang menjadi titianku menuntut ilmu. Kampus yang dulu menjadi mimpiku kala aku masih menjadi perempuan kampung yang polos tak tahu apa-apa tentang gemerlapnya dunia kota.
Ada kerinduan yang menjalar dalam diriku tentang kampusku. Tempatku mengukir prestasi di awal semester. Namun, atas kelalaian diriku yang tidak bisa mengfilter pergaulanku sehingga aku menjadi mahasiswi yang tak lagi mementingkan studi melainkan hanya memikirkan uang. Uang dan uang. Entah berapa kali sudah aku berdusta kepada ibuku yang di sudut sana. Ibu yang selalu menanyakan kuliahku namun aku terus menerus berdusta padanya dengan menyembunyikan tingkah lakuku yang busuk.
“Iza, bagaimana kuliahnya nak?” tanya ibuku kala itu melalui handphone milik teman kampungku. Aku hanya menjawabnya dengan memutar balikkan fakta.
Aku berjalan membuka jendela kamarku sambil membawa teh hangat di tanganku. Aku meneguknya sambil berdiri dengan pandangan yang terarah ke depan. Kembali sosok laki-laki yang menolongku mengusik benak fikirku. Namun, aku menepisnya tapi semuanya sia-sia sebab ia terlanjur bergelantungan di pelupuk mataku.
“Mengapa bayangmu selalu hadir di saat aku merasa sepi,” gumamku.
“Adakah tanda bahwa kita akan saling mengenal? Ataukah hanya diriku saja yang terlalu berharap lebih? Namun, tak bisa kupungkiri ada kecondongan dalam diriku untuk bertutur sapa denganmu. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi dan aku berharap engkau bisa menjadi temanku dalam kesunyian yang selalu menderaku. Namun, siapakah aku?” aku berguming pada diriku sendiri. Dan tersenyum sendiri kala mengingat pertemuanku yang singkat dengannya. Pertemuan yang membuatku bangga dengan sosoknya yang menjaga kehormatanku atau lebih tepatnya menjaga kehormatan perempuan. Saat semua laki-laki yang aku temui tak ada rasa untuk menjaga kehormatan makhluk Allah yang bernama perempuan. Melainkan mereka menjadikannya hanya sebagai pemuas birahi mereka.
“Tidakkah mereka mengerti perasaan istri mereka? Tidak mereka merasa betapa aku pantas untuk diperlakukan seperti anak-anak perempuan mereka? Tapi sudahlah tak ada gunanya aku mengugat mereka. Toh, mereka sendiri telah membayar jasaku.” Akui diriku yang sempat mengugat laki-laki yang bergelimang harta dan menghamburkannya di jalan yang haram.
Aku meraba kembali ingatanku dengan. Ingatan saat ia menatapku dengan iba untuk meyakinkan ku bahwa aku aman dengannya. Sungguh pertemuan yang membuatku selalu merindu. Merindu dengan suaranya yang santun dan beradab.
***
“Silahkan bergabung mbak,” ajak salah seorang dari teman Riri yang lesehan di bundaran pas di tengah taman kota.
“Iya,” jawabku dengan apatis.
“Ngapain kamu dengan mereka Ri?” tanyaku pada Riri saat kebingungan melanda diriku atas apa yang mereka bahas.
“Ini teman-teman kampus aku Za. Kami sedang membahas masalah strategis tempat yang menjadi ladang duit kita nanti.” Jawab Riri, yang membuatku mengerutkan kening.
“Maksud kamu Ri?”
“Yah seperti kita-kita lah,” ucap Riri pendek.
“Apa?” tanyaku tak percaya. Semua yang ada melihatku sebab suaraku yang spontan mengagetkan mereka. Aku langsung menarik diri dengan mereka sambil kupaksa Riri untuk ikut bersamaku. Pembahasan mereka terhenti melihat tingkah yang kuperbuat pada Riri.
“Yah silahkan dilanjut mbak.” Ujarku pada mereka untuk menetralisir keadaan. Aku menarik lengan Riri dan membawa di sebuah kursi panjang tepat di bawa petala langit yang tak ada dedaunan kelapa yang menjadi atap. Hanya petala langit saja yang terhampar luas.
“Yang kamu maksud dengan kita-kita adalah mereka juga berprofesi malam dengan menawarkan tubuh mereka? Sama seperti yang kita lakukan selama ini?” tanyaku untuk meyakinkan diriku.
“Iya,”
“Kok bisa Ri?”
“Maksud kamu Za?” ucap Riri yang tidak mengerti pertanyaanku. Aku membalikkan badannya sehingga tepat berhadapan denganku sambil memegang kedua pundaknya.
“Tidakkah engkau melihat penampilan mereka? Penampilan mereka tidak mencermikan perempuan hina melainkan perempuan yang bermartabat dan suci. Mereka tidak seperti kita yang berpenampilan yang memang mengundang laki-laki hidung belang untuk menggoda kita sebab itu memang senjata kita. Senjata untuk menaklukkan hati mereka Ri. Tapi mereka? Mereka berbeda sekali Ri.” Paparku pada Riri sambil meyakinkannya.
“Hahaha.....” Riri hanya tertawa.
“Iza kamu terlalu polos untuk hal seperti ini. Tidakkah kamu tahu mereka? Mereka sudah lebih duluan dari pada kamu. Mereka bisa memanipulasi diri mereka sekendaknya. Kamu jangan terlalu percaya dan menilai sesuatu dari luarnya saja Za, sebab penampilan luar tidak menjamin apa yang ada dalam diri kita. Yang terselubung dalam hati kita masing-masing. Ini pelajaran buat kamu Za, bahwa segala sesuatu tidak dapat dinilai dari satu sisi saja melainkan dari semua sisi. Setelah itu baru kita mengambil kesimpulan terhadap sesuatu tersebut.” Lanjut Riri yang membuat aku tercengang dengan penuturannya. Aku melirik ke arah mereka. Ke arah perempuan-perempuan yang berkumpul untuk membahas cara mereka menghidupi dirinya dengan mengadaikan mahkota kesuciannya.
“Aku ke sana dulu Za, tidak enak aku dengan mereka.” Pamit Riri sambil meninggalkanku yang masih menunduk memikirkan apa yang baru saja Riri ucapkan padaku.
Kicauan burung kudengar dengan merdu sementara angin berselingkuh dengan wajahku yang mengelusku penuh mesra. Aku melirik kanan dan kiri melihat di sekelilingku. Tak lagi ramai sebab mentari kini menghujamkan sinarnya yang membuat kulit terasa panas. Aku berpindah tempat menuju pohon rindang. Kuingin menikmati taman kota ini di bawah petala langit dan di bawah pohon rindang.
“Dan, kita ketemu saja di masjid, sebab masih ada buku yang hendak aku beli.” Suara itu kedengar dengan jelas. Suara yang tidak asing lagi. Suara yang membuatku merindu. Merindui sosoknya yang tidak pernah kutahu siapa namanya. Aku menoleh dan kulihat ia tepat berada di belakangku. Sosok laki-laki itu tepat di belakangku menunggu mobil angkot yang akan menghantarnya ke tempat ia tuju.
Aku mencuri pandang untuk melihat wajahnya.
“Wajah yang selalu kurindukan.” Bisikku pada hatiku yang bergetar. Bergetar sebab sesuatu yang membuatku senang melihat sosoknya.
“Duhai jiwa yang kurindui, adakah engkau merinduiku pula di sudut sana? Di sudut hatimu yang dalam. Adakah juga namaku di sudut hatimu seperti aku yang selalu memberikan tempat untuk namamu di sudut hatiku. Duhai jiwa yang kuharapkan, adakah engkau juga mengharapkan diriku? Adakah engkau menginginkan diriku yang seperti ini. Diri yang sudah lama berselimut kelam sementara dirimu selalu berselimut cahaya. Cahaya Tuhan yang tidak ada untuk diriku yang hina ini. Duhai jiwa yang kurindui.” Hatiku berbisik tentang kerinduan hingga aku tak mampu mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Aku benar-benar telah mencintainya dan meluapkan semua rasaku hanya untuk dirinya seeorang. Di bawa petala langit aku memandangi dirinya. Memandangi laki-laki dengan cinta dan kerinduan yang bersatu padu. Saat ini hanya petala langitlah yang menjadi saksi atas diriku yang benar-benar mencintai sosok laki-laki yang tak kutahu siapa namanya. Namun ia ada tepat di belakangku.
***
 BERSAMBUNG ...

Comments

  1. lanjut..... tidak sabar dengan cerita selanjutnya.. what will be happen..

    ReplyDelete

Post a Comment