Hidayah di Kaki Langit (Bag. 6)



Menjadi Simpanan
S
ejak kejadian di beranda rumahku malam itu dan pengakuan Riri terhadapku atas rasa cintanya, kini kami tidak pernah lagi berkomunikasi. Hubungan kami mulai renggang. Tak lagi seperti dulu. Dalam hati aku sebenarnya bersyukur sebab dengan begitu Riri sadar bahwa rasanya terhadapku ternyata salah dan tidak bisa diteroril lagi. Namun, di sisi lain aku merasa rindu juga dengannya. Aku rindu saat-saat kami bersama dulu sebab terlalu banyak hal indah Yang kami rajut bersama dalam pertemanan kami yang kurang lebih tiga tahun.
Tak ada lagi runitinas party yang kami lakukan setiap pekannya. Andri dan Lukman pun jarang lagi aku temui dan tak ada kabar darinya. Sering kami saling bertemu namun sikapnya lain terhadapku tidak sehangat dulu. Palingan saat kami bertemu kami hanya saling melempar senyum setelah itu berlalu tanpa ada sepatah kata apa lagi gelak tawa dan canda.
Semua mengjauh dariku dengan perlahan namun pasti. Aku mulai kesepian tanpa mereka. Aku merasa hampa sebab tak ada lagi warna yang mereka percikkan pada diriku untuk mengisi hari-hariku. Bahkan pekerjaan malam yang aku lakukan tak lagi seperti dulu. Aku hanya melakukannya dua kali setiap pekannya. Aku mulai bosan dengan pekerjaan malamku yang menawarkan tubuhku. Entahlah apakah sebab bosan atau memang tak ada lagi link ku untuk menemukan pelanggan yang berkelas? Namun, semua itu tidaklah menjadi masalah buatku sebab tabungan sudah cukup rasanya untuk menghidupiku dan ibuku di kampung. Aku tidk bekerja juga tak mengapa sebab uang yang aku hasil dari pekerjaan tersebut telah bertumpuk banyk dalam ATM ku.
Namun, malam ini aku memilih untuk kembali melakukan pekerjaan itu, bukan untuk mencari uang namun untuk mengobati perasaan sepi yang menyelimuti ruang hatiku. Maka setelah aku memoles diriku menjadi seorang diri orang lain akupun berangkat menuju jalan Nusantara tempat aku bekerja menjadi perempuan penghibur yang menarkan tubuh sebagai jasa para laki-laki bejat yang menghamburkan uangnya demi kesenangan dan kenikmatan semu. Tak butuh waktu banyak untukku bisa sampai di jalan Nusantara yang sudah terkenal di seantero negeri ini sebagai tempat yang seperti itu. Melewati jalan Nusantara sekitar 100 meter lebih maka kita akan menemukan Liquid Metroseksual yang menjadi tempat pelacuran bagi laki-laki yang mengalami kelainan seks yang menyukai sesama jenis. Sama halnya dengan Riri yang menyukaiku meskipun ia tahu bahwa kami sama-sama perempuan.
Ketika tiba di tempat tersebut, serbuan beberapa om-om berdatangan padaku. Namun aku memilih. Memilih yang sesuia dengan seleraku dan kalau bisa dan ada aku memilih yang seumuran denganku. Ataukah memilih laki-laki yang tidak dimamah oleh usia.
“Sama siapa mbak?” tanya salah seorang diantara kelima om-om yang menyerbuku.
“Kalau tidak ada teman malam ini, kamu sama aku aja yah?” lanjut lagi yang lain.
“Ya sudahlah kalau tidak mau sendiri dengan kami berlima juga boleh mbak, nanti kami bayar kamu dengan bayaran yang lebih tinggi.”
“Betul sekali mbak. Nanti bapak bayar kamu dua kali lipat dari harga kamu yang sebelumnya,” lanjut yang lainnya sambil membenarkan perkataan temannya.
“Maaf pak, aku sudah punya janji ini malam,” ujarku menolak tawaran mereka dengan halus yang membuat mereka mengigit lidah dengan suaraku yang kubuat lebih mendayu di telinga mereka.
“Besok malam juga bisa mbak. Bapak akan menunggumu dan membayar lebih padamu,” ujarnya lagi kala aku meninggalkan mereka menuju tempatku yang biasa. Aku hanya duduk termenung sambil mengempulkan asap rokok yang keluar dari mulutku. Aku tidak memperhatikan kawanan laki-laki yang mencari buruan malamnya untuk ia santap.
“Mbak sendirian?” tanya seorang laki-laki paruh baya yang berdiri di hadapanku. Penampilannya sangat berkarisma. Buja kemeja lengan panjang biru dengan celana levais hitam membungkus penampilannya. Kulihat semua perempuan yang seprofesi denganku meliriknya.
“Iya, aku sendiri.” Jawabku singkat.
“Bisa aku temani mbak menghabiskan malam?” tanyanya dengan tutur sopan. Aku heran dibuatnya. Sebab baru kali ini aku mendengarkan seorang laki-laki bertutur sopan dan santun padaku di tempat maksiat ini. Ia bertutur dengan tidak mengedepankan nilai nafsunya yang hanya melihatku sebuah media untuk kenikmatan dirinya.
“Ya, silahkan.” Kulihat ia duduk berdampingan dengan. Sejenak kami bungkam tanpa ada yang memulai percakapan. Mungkin ia malu? Tapi untuk apa? Bukankah di sini tak ada lagi kata malu? Sebab semua orang tahu tempat apa ini. Tapi jujur aku semakin penasaran dengan laki-laki ini. Laki-laki yang mempunyai tutur kata yang sopan.
“Nama aku Irsan mbak.” Gumamnya memecahkan keheningan malam.
“Aku Iza, mas tidak salah berada di tempat ini?” tanyaku cari tahu.
“Tidak mbak. Aku tahu tempat apa ini. Aku tahu juga apa pekerjaan mbak,” jawabnya untuk meyakinkanku.
“Baru kali ini aku mendapati laki-laki yang bertutur sopan di tempat ini. Tidak seperti yang lain yang hanya memperturutkan nafsunya sehingga tutur sopan tak lagi mereka kenal. Mereka hanya datang untuk memuaskan nafsunya dengan ucapa-ucapan manisnya yang menyihir kami perempuan-perempuan yang ada di sini.”
“Mbak mau di tempat mana? Silahkan mbak sendiri yang memilihnya.” Aku lebih heran lagi dengan penuturannya sebab laki-laki inilah yang memintaku untuk memilih tempat untuk kami berdua.
“Silahkan mbak memilih tempat untuk kita berdua sepanjang malam,” tawarnya sekali lagi.
“Baik. Aku memilih hotel yang ada di jalan Yos Sudarso,” jawabku iseng. Sebab kutahu hotel itu adalah hotel termewah yang ada di kota ini. Kisaran biaya yang harus dikeluar permalamnya berkisar lebih dari dua juta rupiah, namun tak mengapalah sebab jika ia tak mampu berarti kami tidak pergi.
“Kalau begitu mbak ikut denganku. Mobil aku parkir di sana.”  Sambil menunjuk area parkiran kami berjalan berdua. Samar-samar kudengar teman-temanku yang lain berbisik tentang kami.
“Ah, itukan anaknya............sungguh beruntung Iza malam ini.” Kata mereka yang kudengar hanya samar-samar.
Mobil yang kami kendarai melaju dengan cepat menuju hotel jalan Yos Sudarso. Aku melihat dari balik jendela, melihat begitu banyaknya lampu bak kunang-kunang yang berterbangan. Gedung-gedung menjulang tinggi dan aneka jenis kendaraan yang memadati ruas jalan namun tak membuatnya macet. Kami sampai di dalam hotel dan menaiki lift menuju kamar yang telah dipesan Irsan untuk kami berdua. Dadaku masih di lingkupi rasa penasaran dan heran atas sikapnya. Tapi biarlah nanti aku akan tahu sendiri. Tepisku.
Kami memasuki ruang kamar dan menyalakan lampu yang sempat padam. Kulihat sisi kamar tertata dengan rapi dan menyerburkan bau erotis kemewahan. Aku merasa bangga bisa menginjakkan kakiku di hotel mewah seperti ini. Konon katanya hotel ini selevel dengan hotel yang ada di negeri Paman Sam; Amerika Serikat.
“Silahkan Iza istrahat dulu kalau lelah,” tawarnya padaku. Lagi-lagi aku dibuat heran oleh tingkahnya. Aku hanya mengangukkan kepala dan tersenyum manis padanya. Ia pun balik tersenyum padaku. Aku merasa tenang, senang bercampur bahagia. Aku merasa ketakutakan dan kemuakan diriku hilang di telan oleh senyum manis yang ia lemparkan padaku.
“Silahkan Iza istrahat, aku ingin menikmati siaran TV malam dulu,” tawarnya sekali lagi. Aku memilih berbaring sementara kulihat ia mencari chanel siaran TV yang bagus ia tonton malam ini.
Lambat laut tak ada lagi kudengar suara. Aku tertidur. Telah berlabuh dalam mimpiku dan tak tahu apa yang Irsan lakukan. Aku tertidur dengan pulasnya. Merenggangkan semua otot-otot dalam tubuhku atas keletihan yang menderanya. Kurasakan sebuah selimut panjang nan tebal membungkus tubuhku. Aku tahu Irsan yang melakukannya namun karena rasa ngantuk yang menderaku sehingga aku tak memperdulikannya. Kurasaka juga ia tengah mengambil posisi tidur di sampingku. Kami tidur bersama di atas tempat tidur yang sama.
Mentari kembali menyilaukan mataku saat Irsan membuka horden hotel kamar sambil menikmati secangkir kopi panas dan sepiring roti bakar berlapis coklat dan keju.
“Sudah bangun Za?” tanyanya kala aku duduk bersila di atas tempat tidurku. Aku terdiam dan tak menanggapi pertanyaannya. Aku terdiam melihat diriku yang tak ada perubahannya seperti malam tadi. Semua masih seperti malam tadi tak ada yang berubah. Aku heran dan sangat heran. Heran atas perlakuan yang Irsan berikan padaku. Kami tidur bersama namun ia tidak sama sekali menyentuhku. Ia membayarku namun tak sama sekali menikmati tubuhku seperti yang dilakukan yang lainnya padaku. Aku menghampirinya dan menanyakan hal ini.
“Irsan, apakah yang kamu inginkan dariku?” tanyaku dengan mimik serius sambil menatapnya dengan tajam.
“Apa yang kamu inginkan dariku? Kenapa semalam engkau tak menyentuhku? Kenapa engkau tidak menikmati tubuhku layaknya mereka yang melihatku hanya pemuas nafsunya. Kenapa San?” tanyaku lebih keras lagi. Aku melihat Irsan berdiri dan memegang punggungku dengan kedua tangannya.
“Aku hanya ingin engkau ada di sampingku Za. Dan engkau ada di sampingku bukan berarti aku punya hak untuk menikmati tubuhmu pula. Kalau aku mau aku akan meminta izin padamu terlebih dahulu. Itu yang akan kulakukan Za.” Jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Benar-benar laki-laki aneh?” ujarku dalam hati.
“Za, mauka kamu menjadi perempuan simpananku? Menjadi simpanan yang selalu menemani hari-hari sepiku dan kurajur kebersamaan bersamamu sebagai simpananku?” tawarnya padaku. Tak cukup bagiku untuk meng-iyakan tawarannya sebab aku yakin Irsan adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan pastilah ia dari keluarga terhormat.
“Iya,” kataku sambil mengangukkan kepala. Aku memeluknya dengan erat dan begitupun sebaliknya dengan dirinya melakukan hal yang sama. Ia kembali duduk menikmati kopinya sementara aku menuju kamar mandi membersihkan tubuhku.
Jam menunjukkan pukul 9.15, Irsan pamit padaku sebab ia harus masuk kantor hari ini.
“Za, aku ke kantor dulu. Kamu boleh tinggal di hotel ini sampai kamu mau. Semuanya sudah aku bereskan. Silahkan kamu tinggal sampai yang kamu inginkan. Kamu tidak perlu sungkang. Di lemari ada sesuatu yang aku siapkan untukmu. Sebentar malam aku kembali ke sini. Kamu ada sesuatu yang ingin kamu pesan?” jelasnya padaku. Aku hanya menggelengkan kepala dan melihat Irsan berlalu keluar dari kamar.
Hari ini adalah hari pertamaku di manjakan oleh seorang laki-laki. Hari ini pula aku menjadi simpanan Irsan. Aku tidak merasa takut dengannya sebab penuturannya padaku membuat aku yakin ia laki-laki yang baik. Aku hanya ingin engkau ada di sampingku Za. Dan engkau ada di sampingku bukan berarti aku punya hak untuk menikmati tubuhmu pula. Kalau aku mau aku akan meminta izin padamu terlebih dahulu. Itu yang akan kulakukan Za. Penuturan inilah yang selalu terngiang-ngiang dalam benar fikirku yang membuatku nyaman dengannya. Aku menuju lemari hotel dengan penuh penasaran. Meraba sesuatu yang Irsan maksud sebagai hadiah untukku darinya.
“Wah, baju yang bagus. Ini pasti mahal.” Teriakku saat membuka lemari itu. Kemudian aku mengeluarkannya dan mencoba memakainya dalam diriku. Semua pas. Sangat pas. Tapi bagaimana Irsan tahun ukuran baju yang aku kenakan? Bukankah kami baru kenal tadi malam? Tanyaku cari tahu. Namun, semua yang aku alami tadi malam sampai pagi ini benar-benar membuatku tidak percaya.
***
 BERSAMBUNG ...

Comments