Menjadi Simpanan
S
|
ejak kejadian di beranda rumahku malam
itu dan pengakuan Riri terhadapku atas rasa cintanya, kini kami tidak pernah
lagi berkomunikasi. Hubungan kami mulai renggang. Tak lagi seperti dulu. Dalam
hati aku sebenarnya bersyukur sebab dengan begitu Riri sadar bahwa rasanya
terhadapku ternyata salah dan tidak bisa diteroril lagi. Namun, di sisi lain
aku merasa rindu juga dengannya. Aku rindu saat-saat kami bersama dulu sebab
terlalu banyak hal indah Yang kami rajut bersama dalam pertemanan kami yang
kurang lebih tiga tahun.
Tak ada lagi runitinas party yang kami
lakukan setiap pekannya. Andri dan Lukman pun jarang lagi aku temui dan tak ada
kabar darinya. Sering kami saling bertemu namun sikapnya lain terhadapku tidak
sehangat dulu. Palingan saat kami bertemu kami hanya saling melempar senyum
setelah itu berlalu tanpa ada sepatah kata apa lagi gelak tawa dan canda.
Semua mengjauh dariku dengan perlahan
namun pasti. Aku mulai kesepian tanpa mereka. Aku merasa hampa sebab tak ada
lagi warna yang mereka percikkan pada diriku untuk mengisi hari-hariku. Bahkan
pekerjaan malam yang aku lakukan tak lagi seperti dulu. Aku hanya melakukannya
dua kali setiap pekannya. Aku mulai bosan dengan pekerjaan malamku yang
menawarkan tubuhku. Entahlah apakah sebab bosan atau memang tak ada lagi link
ku untuk menemukan pelanggan yang berkelas? Namun, semua itu tidaklah menjadi
masalah buatku sebab tabungan sudah cukup rasanya untuk menghidupiku dan ibuku
di kampung. Aku tidk bekerja juga tak mengapa sebab uang yang aku hasil dari
pekerjaan tersebut telah bertumpuk banyk dalam ATM ku.
Namun, malam ini aku memilih untuk
kembali melakukan pekerjaan itu, bukan untuk mencari uang namun untuk mengobati
perasaan sepi yang menyelimuti ruang hatiku. Maka setelah aku memoles diriku
menjadi seorang diri orang lain akupun berangkat menuju jalan Nusantara tempat
aku bekerja menjadi perempuan penghibur yang menarkan tubuh sebagai jasa para
laki-laki bejat yang menghamburkan uangnya demi kesenangan dan kenikmatan semu.
Tak butuh waktu banyak untukku bisa sampai di jalan Nusantara yang sudah
terkenal di seantero negeri ini sebagai tempat yang seperti itu. Melewati jalan
Nusantara sekitar 100 meter lebih maka kita akan menemukan Liquid Metroseksual
yang menjadi tempat pelacuran bagi laki-laki yang mengalami kelainan seks yang
menyukai sesama jenis. Sama halnya dengan Riri yang menyukaiku meskipun ia tahu
bahwa kami sama-sama perempuan.
Ketika tiba di tempat tersebut, serbuan
beberapa om-om berdatangan padaku. Namun aku memilih. Memilih yang sesuia
dengan seleraku dan kalau bisa dan ada aku memilih yang seumuran denganku.
Ataukah memilih laki-laki yang tidak dimamah oleh usia.
“Sama siapa mbak?” tanya salah seorang
diantara kelima om-om yang menyerbuku.
“Kalau tidak ada teman malam ini, kamu
sama aku aja yah?” lanjut lagi yang lain.
“Ya sudahlah kalau tidak mau sendiri
dengan kami berlima juga boleh mbak, nanti kami bayar kamu dengan bayaran yang
lebih tinggi.”
“Betul sekali mbak. Nanti bapak bayar
kamu dua kali lipat dari harga kamu yang sebelumnya,” lanjut yang lainnya
sambil membenarkan perkataan temannya.
“Maaf pak, aku sudah punya janji ini
malam,” ujarku menolak tawaran mereka dengan halus yang membuat mereka mengigit
lidah dengan suaraku yang kubuat lebih mendayu di telinga mereka.
“Besok malam juga bisa mbak. Bapak akan
menunggumu dan membayar lebih padamu,” ujarnya lagi kala aku meninggalkan
mereka menuju tempatku yang biasa. Aku hanya duduk termenung sambil
mengempulkan asap rokok yang keluar dari mulutku. Aku tidak memperhatikan
kawanan laki-laki yang mencari buruan malamnya untuk ia santap.
“Mbak sendirian?” tanya seorang laki-laki
paruh baya yang berdiri di hadapanku. Penampilannya sangat berkarisma. Buja
kemeja lengan panjang biru dengan celana levais hitam membungkus penampilannya.
Kulihat semua perempuan yang seprofesi denganku meliriknya.
“Iya, aku sendiri.” Jawabku singkat.
“Bisa aku temani mbak menghabiskan
malam?” tanyanya dengan tutur sopan. Aku heran dibuatnya. Sebab baru kali ini
aku mendengarkan seorang laki-laki bertutur sopan dan santun padaku di tempat
maksiat ini. Ia bertutur dengan tidak mengedepankan nilai nafsunya yang hanya
melihatku sebuah media untuk kenikmatan dirinya.
“Ya, silahkan.” Kulihat ia duduk
berdampingan dengan. Sejenak kami bungkam tanpa ada yang memulai percakapan.
Mungkin ia malu? Tapi untuk apa? Bukankah di sini tak ada lagi kata malu? Sebab
semua orang tahu tempat apa ini. Tapi jujur aku semakin penasaran dengan
laki-laki ini. Laki-laki yang mempunyai tutur kata yang sopan.
“Nama aku Irsan mbak.” Gumamnya
memecahkan keheningan malam.
“Aku Iza, mas tidak salah berada di
tempat ini?” tanyaku cari tahu.
“Tidak mbak. Aku tahu tempat apa ini. Aku
tahu juga apa pekerjaan mbak,” jawabnya untuk meyakinkanku.
“Baru kali ini aku mendapati laki-laki
yang bertutur sopan di tempat ini. Tidak seperti yang lain yang hanya
memperturutkan nafsunya sehingga tutur sopan tak lagi mereka kenal. Mereka
hanya datang untuk memuaskan nafsunya dengan ucapa-ucapan manisnya yang
menyihir kami perempuan-perempuan yang ada di sini.”
“Mbak mau di tempat mana? Silahkan mbak
sendiri yang memilihnya.” Aku lebih heran lagi dengan penuturannya sebab
laki-laki inilah yang memintaku untuk memilih tempat untuk kami berdua.
“Silahkan mbak memilih tempat untuk kita
berdua sepanjang malam,” tawarnya sekali lagi.
“Baik. Aku memilih hotel yang ada di
jalan Yos Sudarso,” jawabku iseng. Sebab kutahu hotel itu adalah hotel termewah
yang ada di kota ini. Kisaran biaya yang harus dikeluar permalamnya berkisar
lebih dari dua juta rupiah, namun tak mengapalah sebab jika ia tak mampu
berarti kami tidak pergi.
“Kalau begitu mbak ikut denganku. Mobil
aku parkir di sana.” Sambil menunjuk
area parkiran kami berjalan berdua. Samar-samar kudengar teman-temanku yang
lain berbisik tentang kami.
“Ah, itukan anaknya............sungguh
beruntung Iza malam ini.” Kata mereka yang kudengar hanya samar-samar.
Mobil yang kami kendarai melaju dengan
cepat menuju hotel jalan Yos Sudarso. Aku melihat dari balik jendela, melihat
begitu banyaknya lampu bak kunang-kunang yang berterbangan. Gedung-gedung
menjulang tinggi dan aneka jenis kendaraan yang memadati ruas jalan namun tak
membuatnya macet. Kami sampai di dalam hotel dan menaiki lift menuju kamar yang
telah dipesan Irsan untuk kami berdua. Dadaku masih di lingkupi rasa penasaran
dan heran atas sikapnya. Tapi biarlah nanti aku akan tahu sendiri. Tepisku.
Kami memasuki ruang kamar dan menyalakan
lampu yang sempat padam. Kulihat sisi kamar tertata dengan rapi dan
menyerburkan bau erotis kemewahan. Aku merasa bangga bisa menginjakkan kakiku
di hotel mewah seperti ini. Konon katanya hotel ini selevel dengan hotel yang
ada di negeri Paman Sam; Amerika Serikat.
“Silahkan Iza istrahat dulu kalau lelah,”
tawarnya padaku. Lagi-lagi aku dibuat heran oleh tingkahnya. Aku hanya
mengangukkan kepala dan tersenyum manis padanya. Ia pun balik tersenyum padaku.
Aku merasa tenang, senang bercampur bahagia. Aku merasa ketakutakan dan
kemuakan diriku hilang di telan oleh senyum manis yang ia lemparkan padaku.
“Silahkan Iza istrahat, aku ingin
menikmati siaran TV malam dulu,” tawarnya sekali lagi. Aku memilih berbaring
sementara kulihat ia mencari chanel siaran TV yang bagus ia tonton malam ini.
Lambat laut tak ada lagi kudengar suara.
Aku tertidur. Telah berlabuh dalam mimpiku dan tak tahu apa yang Irsan lakukan.
Aku tertidur dengan pulasnya. Merenggangkan semua otot-otot dalam tubuhku atas
keletihan yang menderanya. Kurasakan sebuah selimut panjang nan tebal
membungkus tubuhku. Aku tahu Irsan yang melakukannya namun karena rasa ngantuk
yang menderaku sehingga aku tak memperdulikannya. Kurasaka juga ia tengah
mengambil posisi tidur di sampingku. Kami tidur bersama di atas tempat tidur
yang sama.
Mentari kembali menyilaukan mataku saat
Irsan membuka horden hotel kamar sambil menikmati secangkir kopi panas dan
sepiring roti bakar berlapis coklat dan keju.
“Sudah bangun Za?” tanyanya kala aku
duduk bersila di atas tempat tidurku. Aku terdiam dan tak menanggapi
pertanyaannya. Aku terdiam melihat diriku yang tak ada perubahannya seperti malam
tadi. Semua masih seperti malam tadi tak ada yang berubah. Aku heran dan sangat
heran. Heran atas perlakuan yang Irsan berikan padaku. Kami tidur bersama namun
ia tidak sama sekali menyentuhku. Ia membayarku namun tak sama sekali menikmati
tubuhku seperti yang dilakukan yang lainnya padaku. Aku menghampirinya dan
menanyakan hal ini.
“Irsan, apakah yang kamu inginkan
dariku?” tanyaku dengan mimik serius sambil menatapnya dengan tajam.
“Apa yang kamu inginkan dariku? Kenapa
semalam engkau tak menyentuhku? Kenapa engkau tidak menikmati tubuhku layaknya
mereka yang melihatku hanya pemuas nafsunya. Kenapa San?” tanyaku lebih keras
lagi. Aku melihat Irsan berdiri dan memegang punggungku dengan kedua tangannya.
“Aku hanya ingin engkau ada di sampingku
Za. Dan engkau ada di sampingku bukan berarti aku punya hak untuk menikmati
tubuhmu pula. Kalau aku mau aku akan meminta izin padamu terlebih dahulu. Itu
yang akan kulakukan Za.” Jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Benar-benar laki-laki aneh?” ujarku
dalam hati.
“Za, mauka kamu menjadi perempuan
simpananku? Menjadi simpanan yang selalu menemani hari-hari sepiku dan kurajur
kebersamaan bersamamu sebagai simpananku?” tawarnya padaku. Tak cukup bagiku
untuk meng-iyakan tawarannya sebab aku yakin Irsan adalah laki-laki yang
bertanggung jawab dan pastilah ia dari keluarga terhormat.
“Iya,” kataku sambil mengangukkan kepala.
Aku memeluknya dengan erat dan begitupun sebaliknya dengan dirinya melakukan
hal yang sama. Ia kembali duduk menikmati kopinya sementara aku menuju kamar
mandi membersihkan tubuhku.
Jam menunjukkan pukul 9.15, Irsan pamit
padaku sebab ia harus masuk kantor hari ini.
“Za, aku ke kantor dulu. Kamu boleh
tinggal di hotel ini sampai kamu mau. Semuanya sudah aku bereskan. Silahkan
kamu tinggal sampai yang kamu inginkan. Kamu tidak perlu sungkang. Di lemari
ada sesuatu yang aku siapkan untukmu. Sebentar malam aku kembali ke sini. Kamu
ada sesuatu yang ingin kamu pesan?” jelasnya padaku. Aku hanya menggelengkan
kepala dan melihat Irsan berlalu keluar dari kamar.
Hari ini adalah hari pertamaku di
manjakan oleh seorang laki-laki. Hari ini pula aku menjadi simpanan Irsan. Aku
tidak merasa takut dengannya sebab penuturannya padaku membuat aku yakin ia
laki-laki yang baik. Aku hanya ingin engkau ada di sampingku Za. Dan engkau
ada di sampingku bukan berarti aku punya hak untuk menikmati tubuhmu pula.
Kalau aku mau aku akan meminta izin padamu terlebih dahulu. Itu yang akan
kulakukan Za. Penuturan inilah yang selalu terngiang-ngiang dalam benar
fikirku yang membuatku nyaman dengannya. Aku menuju lemari hotel dengan penuh
penasaran. Meraba sesuatu yang Irsan maksud sebagai hadiah untukku darinya.
“Wah, baju yang bagus. Ini pasti mahal.”
Teriakku saat membuka lemari itu. Kemudian aku mengeluarkannya dan mencoba
memakainya dalam diriku. Semua pas. Sangat pas. Tapi bagaimana Irsan tahun
ukuran baju yang aku kenakan? Bukankah kami baru kenal tadi malam? Tanyaku cari
tahu. Namun, semua yang aku alami tadi malam sampai pagi ini benar-benar
membuatku tidak percaya.
***
BERSAMBUNG ...
Comments
Post a Comment