Hidayah di Kaki Langit (Bag. 10)


Pergolakan Batin
P
erjalanan waktu yang aku lakukan telah banyak merubah diriku. Aku telah banyak bercermin dari hidup yang telah terbuang sia-sia atas apa yang aku lakukan. Waktu itu terus bergulir melintasi diriku dan aku merasa semuanya begitu cepat. Ada banyak hal yang kadang aku tidak mengerti dengan diriku dan langkah yang aku ukir. Aku bahkan tidak mengerti dengan pergolakan batin yang selalu mengusikku tentang dirinya yang telah merengguk semua fikiran dan waktuku hanya untuknya.
Aku tersiksa. Tersiksa dengan pergolakan batinku sendiri untuk selalu menemuinya dan menanyakan siapa namanya. Bahkan dirinya terbawa dalam mimpi dan imajinasiku. Dia datang kepadaku dan mengutarakan rasa dan ingin meleburnya dengan rasaku. Namun, lagi-lagi itu hanyalah bunga tidur dan ilusiku semata. Aku selalu ingin melihat wajahnya dan mendengarkan tutur bahasanya sebab hatiku selalu terpaut padanya.
“Benar-benar pergolakan batin yang menyiksa.” Ibaku.
Oh, inikah cinta?
Yang membuat semuanya menjadi indah.
Yang membuat semuanya berwarna.
Tak ada lagi yang istimewa selain dirinya.
Oh, inikah cinta?
Yang selalu membuat diriku memikirkannya.
Yang membuat diriku mengukir syair-syair rindu tuk selalu bertemu dengannya.
Yang membuat diriku mendendangkan kasidah-kasidah cinta di setiap langkahku.
Oh, inikah cinta?
Mata ini selalu melihatmu dalam ilusiku.
Telinga ini selalu mendengar tuturmu dalam ilusiku.
Oh, inikah cinta?
Bawalah aku bersamamu menjelajahi dunia dalam pengembaraan kita tentang cinta.
Oh, inikah Cinta????
***
“Kamu jadi berangkat hari ini Is?” sambil membantu Isbullah memasukkan pakaiannya dalam koper besarnya. Ramdan terus menghujaminya pertanyaan untuk meyakinkan dirinya bahwa sahabat satu-satunya sebentar lagi akan meninggalkannya sendiri. Isbullah akan kembali ke tanah kelahirannya.
“Memang harus hari ini yah Is?” Ramdan masih butuh meyakinkan dirinya dan mencoba untuk membujuk Isbullah untuk menunda keberangkatannya sampai besok pagi. Sementara Isbullah masih terus menyiapkan segala persiapan dan keperluannya. Tanpa sedikit pun memperdulikan Ramdan yang ada di sampingnya.
“Isbullah.” Panggilnya sebab sedari tadi Ramdan tak mendapat respon dari Isbullah.
“Maaf akhi. Aku tidak mendengarnya sebab fikiranku tidak berada di sini melainkan tertuju pada orang tuaku yang sedang sakit di kampungku.” Tutur Isbullah meminta maaf pada Ramdan sambil dengan lihai tangannya membereskan semua bawaannya untuk keberangkatannya di kampung halamannya.
“Aku harus pulang hari ini sebab aku khawatir dengan keadaan ibuku. Aku harus menemaninya di saat-saat seperti ini Dan.”lanjutnya.
“Tapi, bukankah sebaiknya kamu tunggu sampai besok pagi?” Ramdan mencoba membujuk hati Isbullah.
“Kamu fikirkan juga kondisi dirimu, kamu belum terlalu sembuh totol pasca peristiwa penganiayaan tersebut yang menimpa dirimu. Aku yakin ada banyak sanak keluargamu yang menemani ibumu di sana. Jadi tunggulah sampai matahari terbit.” Ia kembali membujuk Isbullah sebab Ramdan khawatir dengan kondisi tubuh Isbullah yang belum terlalu baik total.
“Insya Allah aku akan baik-baik saja Dan. Do’akan kebaikan dan keselamatanku selama dalam perjalanan dan do’akan semoga ibuku cepat sembuh.” Katanya meyakinkan Ramdan.
“Kamu bisa antar aku ke bandara?” pinta Isbullah sambil menenteng koper besarnya. Dan sebuah ransel hitam telah mendarat di punggungnya.
“Siippp.” Ujar Ramdan enteng mencoba menghibur dirinya. Mereka kemudian keluar mencari taxi berwarna putih yang akan membawa keduanya ke bandara Internasional Sultan Hasanuddin.
Waktu terus berlalu seiring perjalanan Isbullah dan Ramdan menuju bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Isbullah telah memesan tiket pesawat Lion Air yang akan berangkat sejam lagi dari sekarang. Perjalanan keduanya terhambat dengan kemacetan ruas jalan oleh padatnya kendaraan orang-orang yang baru saja pulang dari kantornya. Butuh kesabaran untuk tetap menuju bandara sebab kemacetan cukup panjang. Sesekali Isbullah melirik jam memastikan masih ada waktu untuknya sebelum ia terlambat tiba di bandara dan bisa jadi ia ketinggalan pesawat. Dengan begitu tiket yang telah ia pesan hangus Cuma-Cuma.
Sementara suasana bandara tepatnya dalam ruang tunggu ramai dipadati oleh lalu lalang orang-orang yang akan berangkat meninggalkan bandara Internasional Hasanuddin namun, ada pula yang baru tiba.
“Disampaikan kepada seluruh pengunjung bahwa setengah jam lagi pesawat Lion Air sebentar lagi lepas landas.” Suara pengumuman dari pihak bandara. Irsan dan aku berjalan memasuki ruang tunggu. Hari ini aku mengantar Irsan ke bandara dengan tujuan kepulauan Riau. Ia adalah proyek kerjasama dengan teman lamanya yang akan menanam saham pada perusahaan Irsan.
“Kamu berangkat dengan pesawat apa San?” tanya sambil melirik papan pengumuman keberangkatan pesawat. Kulihat keberangkatan dengan tujuan kepulauan Riau sebentar lagi.
“Lion Air Za. Aku berangkat dengan pesawat Lion Air dan sebentar lagi kami akan berangkat.”
“Aku tidak akan lama di sana. Paling Cuma seminggu setelah urusanku selesai aku akan langsung kembali ke Makassar. Kamu titip apa Za buat ole-ole?” lanjutnya seakan mengerti perasaanku yang dilingkupi rasa rindu untuknya atas kepergiannya.
“Aku tidak minta apa-apa. Aku hanya ingin kamu cepat pulang dan bersama dengan aku lagi.” Tuturku pendek untuk menghilangkan kegalauanku.
“Aku akan segera kembali.” Katanya sambil memberiku seulas senyum.
Nampak dari balik pintu masuk ruang tunggu aku melihat laki-laki yang selama ini mengusik hati berjalan terburu-buru. Ia berjalan bersama dengan teman dengan menenteng koper besar.
“Hendak ke mana ia pergi?” bisikku dalam hati yang tak terdengar oleh Irsan. Aku terus mengekorkan pandanganku padanya. Kulihat wajah itu yang selama ini kurindukan dan mampu membuatku tersenyum kala sunyi senyap merabaku.
Duhai jiwa yang kurindukan, bawalah aku bersamamu. Hapuskanlah dahaga kerinduanku dengan air cintamu. Duhai jiwa yang kurindui.” Kembali hatiku mendendangkan nyanyian rindu untuk. Untuknya yang selalu membuat darahku mengalir lebih cepat. Jantungku berdebar kencang dan hatiku terus berbisik tentangnya. Ia semakin berjalan menuju arah kami, aku melihatnya sebab tak pernah mataku meleset dari dirinya. Ia terus berjalan dan melewatiku tanpa sejenak memperhatikan diriku yang sedari tadi memperhatikannya. Hatiku semakin bergetar dengan nafas yang sesak sebab ia berhenti tepat di depanku dan duduk di bangku kosong bersama temannya tepat di depan bangku tempat aku dan Irsan duduk.
Aku mengalami pergolakan batin antara menyapanya atau terus menerus bungkam sambil memandangnya namun, selaksa penyesalan akan terus menghantuiku. Hatiku benar-benar teradu oleh pergolakan batin yang menghendakiku menghampirinya dan tidak menghendakiku menghampirinya.
“Duhai jiwa yang kurindukan. Sambutlah aku. Aku yang berada tepat di belakangmu. Sambutlah mawar cinta yang kupersembahkan padamu dan berikan aku segelas air cintamu untuk melepaskan dahaga kerinduanku yang selama ini gersang tanpamu. Duhai jiwa yang kurindukan. Lihatlah aku, dan tatap bola mataku dengan dalam maka dengan begitu kau akan tahu betapa besar rindu dan cinta yang kusimpan untukmu,” aku membatin dalam kebisuan memanggil dirinya. Memanggilnya untuk kuberikan kepadanya yang selama ini kusimpan dan kutempatkan untuknya di tempat yang istimewa, cinta yang tulus lagi suci.
“Za, aku berangkat dulu.” Lirih Irsan yang membuyarkan syair cinta yang kudendangkan untuknya.
“Iya San. Kamu hati-hati yah. Saat kau tiba jangan lupa kabari aku.” Pintaku sambil terus melirik dirinya yang juga tengah bersiap-siap menuju pesawat.
“Kamu hati Is. Kabari aku ketika kau sampai dan semoga ibumu lekas sembuh.” Ucap temannya yang mengantarnya.
“Iya Dan. Aku akan mengabarimu. Assalamu’alaikum.” Ia berlalu meninggalkan temannya dan meninggalkan pula diriku bersama dengan kepergian Irsan.
“Isbullah, jangan lupa salam sama keluargamu di sana.” Teriak temannya. Ia hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya. Irsan lebih dulu tak terlihat sebab telah berlalu menuju lapangan landasan pesawat. Kini aku tahu siapa nama laki-laki yang telah menolongku. Ada perasaan bahagia yang secara halus menelusuri tubuhku dan rasa itu kubiarkan menguasainya.
“Isbullah.” Bisikku penuh bahagia. Tak lama kemudian bunyi deru pesawat mengelegar menembus petala langit. Dan kuucapkan selamat jalan pada Irsan dan kepada Isbullah belahan jiwa yang kuharapkan. Dan aku berharap ia cepat pulang dan akan kuberanikan diriku untuk mengutarakan rasa cintaku yang mendalam ini padanya, Isbullah. Aku tersenyum penuh suka dan kulihat dunia ini lebih indah dari kemarin.
***
 BERSAMBUNG ...

Comments