Pergolakan Batin
P
|
erjalanan waktu yang aku lakukan telah
banyak merubah diriku. Aku telah banyak bercermin dari hidup yang telah
terbuang sia-sia atas apa yang aku lakukan. Waktu itu terus bergulir melintasi
diriku dan aku merasa semuanya begitu cepat. Ada banyak hal yang kadang aku
tidak mengerti dengan diriku dan langkah yang aku ukir. Aku bahkan tidak
mengerti dengan pergolakan batin yang selalu mengusikku tentang dirinya yang
telah merengguk semua fikiran dan waktuku hanya untuknya.
Aku tersiksa. Tersiksa dengan pergolakan
batinku sendiri untuk selalu menemuinya dan menanyakan siapa namanya. Bahkan
dirinya terbawa dalam mimpi dan imajinasiku. Dia datang kepadaku dan
mengutarakan rasa dan ingin meleburnya dengan rasaku. Namun, lagi-lagi itu hanyalah
bunga tidur dan ilusiku semata. Aku selalu ingin melihat wajahnya dan
mendengarkan tutur bahasanya sebab hatiku selalu terpaut padanya.
“Benar-benar pergolakan batin yang
menyiksa.” Ibaku.
Oh, inikah cinta?
Yang membuat semuanya menjadi indah.
Yang membuat semuanya berwarna.
Tak ada lagi yang istimewa selain
dirinya.
Oh, inikah cinta?
Yang selalu membuat diriku memikirkannya.
Yang membuat diriku mengukir syair-syair
rindu tuk selalu bertemu dengannya.
Yang membuat diriku mendendangkan
kasidah-kasidah cinta di setiap langkahku.
Oh, inikah cinta?
Mata ini selalu melihatmu dalam ilusiku.
Telinga ini selalu mendengar tuturmu
dalam ilusiku.
Oh, inikah cinta?
Bawalah aku bersamamu menjelajahi dunia
dalam pengembaraan kita tentang cinta.
Oh, inikah Cinta????
***
“Kamu jadi berangkat hari ini Is?” sambil
membantu Isbullah memasukkan pakaiannya dalam koper besarnya. Ramdan terus
menghujaminya pertanyaan untuk meyakinkan dirinya bahwa sahabat satu-satunya
sebentar lagi akan meninggalkannya sendiri. Isbullah akan kembali ke tanah
kelahirannya.
“Memang harus hari ini yah Is?” Ramdan
masih butuh meyakinkan dirinya dan mencoba untuk membujuk Isbullah untuk
menunda keberangkatannya sampai besok pagi. Sementara Isbullah masih terus
menyiapkan segala persiapan dan keperluannya. Tanpa sedikit pun memperdulikan
Ramdan yang ada di sampingnya.
“Isbullah.” Panggilnya sebab sedari tadi
Ramdan tak mendapat respon dari Isbullah.
“Maaf akhi. Aku tidak mendengarnya sebab
fikiranku tidak berada di sini melainkan tertuju pada orang tuaku yang sedang
sakit di kampungku.” Tutur Isbullah meminta maaf pada Ramdan sambil dengan
lihai tangannya membereskan semua bawaannya untuk keberangkatannya di kampung
halamannya.
“Aku harus pulang hari ini sebab aku
khawatir dengan keadaan ibuku. Aku harus menemaninya di saat-saat seperti ini
Dan.”lanjutnya.
“Tapi, bukankah sebaiknya kamu tunggu
sampai besok pagi?” Ramdan mencoba membujuk hati Isbullah.
“Kamu fikirkan juga kondisi dirimu, kamu
belum terlalu sembuh totol pasca peristiwa penganiayaan tersebut yang menimpa
dirimu. Aku yakin ada banyak sanak keluargamu yang menemani ibumu di sana. Jadi
tunggulah sampai matahari terbit.” Ia kembali membujuk Isbullah sebab Ramdan
khawatir dengan kondisi tubuh Isbullah yang belum terlalu baik total.
“Insya Allah aku akan baik-baik saja Dan.
Do’akan kebaikan dan keselamatanku selama dalam perjalanan dan do’akan semoga
ibuku cepat sembuh.” Katanya meyakinkan Ramdan.
“Kamu bisa antar aku ke bandara?” pinta
Isbullah sambil menenteng koper besarnya. Dan sebuah ransel hitam telah
mendarat di punggungnya.
“Siippp.” Ujar Ramdan enteng mencoba
menghibur dirinya. Mereka kemudian keluar mencari taxi berwarna putih yang akan
membawa keduanya ke bandara Internasional Sultan Hasanuddin.
Waktu terus berlalu seiring perjalanan
Isbullah dan Ramdan menuju bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Isbullah
telah memesan tiket pesawat Lion Air yang akan berangkat sejam lagi dari
sekarang. Perjalanan keduanya terhambat dengan kemacetan ruas jalan oleh
padatnya kendaraan orang-orang yang baru saja pulang dari kantornya. Butuh
kesabaran untuk tetap menuju bandara sebab kemacetan cukup panjang. Sesekali
Isbullah melirik jam memastikan masih ada waktu untuknya sebelum ia terlambat
tiba di bandara dan bisa jadi ia ketinggalan pesawat. Dengan begitu tiket yang
telah ia pesan hangus Cuma-Cuma.
Sementara suasana bandara tepatnya dalam
ruang tunggu ramai dipadati oleh lalu lalang orang-orang yang akan berangkat
meninggalkan bandara Internasional Hasanuddin namun, ada pula yang baru tiba.
“Disampaikan kepada seluruh pengunjung
bahwa setengah jam lagi pesawat Lion Air sebentar lagi lepas landas.” Suara
pengumuman dari pihak bandara. Irsan dan aku berjalan memasuki ruang tunggu.
Hari ini aku mengantar Irsan ke bandara dengan tujuan kepulauan Riau. Ia adalah
proyek kerjasama dengan teman lamanya yang akan menanam saham pada perusahaan
Irsan.
“Kamu berangkat dengan pesawat apa San?”
tanya sambil melirik papan pengumuman keberangkatan pesawat. Kulihat
keberangkatan dengan tujuan kepulauan Riau sebentar lagi.
“Lion Air Za. Aku berangkat dengan
pesawat Lion Air dan sebentar lagi kami akan berangkat.”
“Aku tidak akan lama di sana. Paling Cuma
seminggu setelah urusanku selesai aku akan langsung kembali ke Makassar. Kamu
titip apa Za buat ole-ole?” lanjutnya seakan mengerti perasaanku yang
dilingkupi rasa rindu untuknya atas kepergiannya.
“Aku tidak minta apa-apa. Aku hanya ingin
kamu cepat pulang dan bersama dengan aku lagi.” Tuturku pendek untuk
menghilangkan kegalauanku.
“Aku akan segera kembali.” Katanya sambil
memberiku seulas senyum.
Nampak dari balik pintu masuk ruang
tunggu aku melihat laki-laki yang selama ini mengusik hati berjalan
terburu-buru. Ia berjalan bersama dengan teman dengan menenteng koper besar.
“Hendak ke mana ia pergi?” bisikku dalam
hati yang tak terdengar oleh Irsan. Aku terus mengekorkan pandanganku padanya.
Kulihat wajah itu yang selama ini kurindukan dan mampu membuatku tersenyum kala
sunyi senyap merabaku.
“Duhai jiwa yang kurindukan, bawalah
aku bersamamu. Hapuskanlah dahaga kerinduanku dengan air cintamu. Duhai jiwa
yang kurindui.” Kembali hatiku mendendangkan nyanyian rindu untuk. Untuknya
yang selalu membuat darahku mengalir lebih cepat. Jantungku berdebar kencang
dan hatiku terus berbisik tentangnya. Ia semakin berjalan menuju arah kami, aku
melihatnya sebab tak pernah mataku meleset dari dirinya. Ia terus berjalan dan
melewatiku tanpa sejenak memperhatikan diriku yang sedari tadi
memperhatikannya. Hatiku semakin bergetar dengan nafas yang sesak sebab ia
berhenti tepat di depanku dan duduk di bangku kosong bersama temannya tepat di
depan bangku tempat aku dan Irsan duduk.
Aku mengalami pergolakan batin antara
menyapanya atau terus menerus bungkam sambil memandangnya namun, selaksa
penyesalan akan terus menghantuiku. Hatiku benar-benar teradu oleh pergolakan
batin yang menghendakiku menghampirinya dan tidak menghendakiku menghampirinya.
“Duhai jiwa yang kurindukan. Sambutlah
aku. Aku yang berada tepat di belakangmu. Sambutlah mawar cinta yang
kupersembahkan padamu dan berikan aku segelas air cintamu untuk melepaskan
dahaga kerinduanku yang selama ini gersang tanpamu. Duhai jiwa yang kurindukan.
Lihatlah aku, dan tatap bola mataku dengan dalam maka dengan begitu kau akan
tahu betapa besar rindu dan cinta yang kusimpan untukmu,” aku membatin dalam
kebisuan memanggil dirinya. Memanggilnya untuk kuberikan kepadanya yang selama
ini kusimpan dan kutempatkan untuknya di tempat yang istimewa, cinta yang tulus
lagi suci.
“Za, aku berangkat dulu.” Lirih Irsan
yang membuyarkan syair cinta yang kudendangkan untuknya.
“Iya San. Kamu hati-hati yah. Saat kau
tiba jangan lupa kabari aku.” Pintaku sambil terus melirik dirinya yang juga
tengah bersiap-siap menuju pesawat.
“Kamu hati Is. Kabari aku ketika kau
sampai dan semoga ibumu lekas sembuh.” Ucap temannya yang mengantarnya.
“Iya Dan. Aku akan mengabarimu.
Assalamu’alaikum.” Ia berlalu meninggalkan temannya dan meninggalkan pula
diriku bersama dengan kepergian Irsan.
“Isbullah, jangan lupa salam sama
keluargamu di sana.” Teriak temannya. Ia hanya tersenyum sambil melambaikan
tangannya. Irsan lebih dulu tak terlihat sebab telah berlalu menuju lapangan
landasan pesawat. Kini aku tahu siapa nama laki-laki yang telah menolongku. Ada
perasaan bahagia yang secara halus menelusuri tubuhku dan rasa itu kubiarkan
menguasainya.
“Isbullah.” Bisikku penuh bahagia. Tak
lama kemudian bunyi deru pesawat mengelegar menembus petala langit. Dan
kuucapkan selamat jalan pada Irsan dan kepada Isbullah belahan jiwa yang
kuharapkan. Dan aku berharap ia cepat pulang dan akan kuberanikan diriku untuk
mengutarakan rasa cintaku yang mendalam ini padanya, Isbullah. Aku tersenyum
penuh suka dan kulihat dunia ini lebih indah dari kemarin.
***
BERSAMBUNG ...
Comments
Post a Comment