Hidayah di Kaki Langit (Bag. 11)


Lamaran Dari Lukman
R
iri berjalan menuju kampusnya. Ia sudah tak pernah lagi berkomunikasi dengan teman-temannya yang lain; Lukman, Andri dan Iza. Ia belajar untuk hidup sendiri dalam kesunyian dan kesepiaannya. Selama beberapa hari ini, ia berdiam diri memikirkan dirinya yang mempunyai kelainan seks; menyukai sesama jenisnya. Riri tidak tau mengapa ia memiliki sikap seperti itu sebab ia juga tak mengingkannya. Ia menerawang kembali kepada dirinya yang sebelumnya sampai saat ini.
“Pergaulan dan lingkungan.” Ujarnya tanpa mengeluarkan suara. Ia sadar bahwa pergaulan dan lingkunganlah yang menyebabkan ia menjadi perempuan lesbian. Perubahan manusia dan akan jadi apa ia nantinya memang pergaulanlah dan lingkungan yang menjadi faktor pembentukan siapa diri kita sebenarnya ke depan. Riri memutar semua ingatannya tentang siapa saja teman-temannya selama ini dan bagaimana saja pergaulannya.
“Bukankah selama ini aku berteman dengan komunitas perempuan yang mempunyai kelainan seks? Selain Lukman, Andri dan Iza merekalah teman-temanku. Teman-teman yang tak punya gairah pada laki-laki sehingga ia bisa memilih menjadi PSK sebab tak pernah sekalipun ia menikmatinya. Ia hanya menginginkan uang dari laki-laki itu.”tuturnya pada dirinya sendiri.
Riri kini telah tahu apa penyebab dari penyakit kelainan seks yang ia derita. Ia berjanji akan keluar dari komunitas itu dan memilih menjadi perempuan normal yang mencintai laki-laki. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melupakan perasaannya kepada Iza dan akan belajar mencintai lawan jenisnya. Meskipun terasa berat ia lakukan untuk melangkah menuju perubahan.
“Lukman,” Riri terhenti saat Lukman menghadang jalannya.
“Kamu, bagaimana kabar Ri?” tanya Lukman.
“Baik.”
“Kamu ada waktu sebentar? Aku ingin bicara sesuatu dengan kamu.” Ajak Lukman pada Riri.
“Ada. Mau bicara Apa Man?” tanyanya cari tahu.
“Kita duduk di bawah sana. Nanti aku jelaskan.” Sambil menunjuk ke arah pohon rindang di sudut taman kampus, Riri dan Lukman melangkah menuju tempat yang Lukman maksud yakni tepat di bawah pohon rindang tersebut.
“Silahkan duduk Ri.” Kata Lukman mempersilahkan duduk kepada Riri. Lukman memperhatikan mahasiswa yang sedang lalu lalang namun tak seramai hari senin dan kamis. Lukman kemudian memperbaiki posisi duduknya dan menatap Riri dengan semakin mendekat pada Riri.
“Aku ingin kamu menjadi.......”
“Menjadi apa Man?” sela Riri yang mendengarkan Lukman berbicara lambat tak jelas.
“Aku.... kamu ......” kembali Lukman berbicara tak jelas.
“Aku. Kamu. Maksudnya apa Man? Bicaralah yang jelas biar aku bisa mengerti.” Kembali Riri meyelah ucapan Lukman. Ia kemudian berhenti sejenak mengatur nafasnya dan berusaha menghentikan gemuruh yang terdengar dahsyat dari dalam dadanya. Padahal ia sudah lama bersama dengan Riri namun baru kali ini ia bergetar hebat kala bersama dengan Riri. Lukman heran dengan dirinya sendiri lebih-lebih dengan Riri yang sedari tadi tidak mengerti maksud dari Lukman.
Semuanya berlalu begitu cepat. Namun Lukman masih belum bisa menguasai dirinya. Ia belum punya keberanian cukup untuk menjelaskan secara jelas dan detail kepada Riri maksud hatinya. Meskipun ia sudah berusaha maksimal namun hasilnya sia-sia saja. Lukman tidak bisa.
“Man.” Riri mencoba menjalarkan keberanian pada Lukman dan membuatnya sedikit rileks dengan menepuk bahunya.
“Kamu kenapa? Sampaikanlah sesuatu yang kau janjikan untukku? Kamu ini temanku Man dan kita sudah berteman cukup lama jadi tak perlu kau sungkan denganku.” Kembali Riri meyakinkan Lukman. Ia kemudian memperbaiki posisinya dan menghadap dengan posisi duduk Riri. Ia menatapnya dan berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia bisa.
“Ri, aku....” suara Lukman kembali terbata-bata dan tak mampu lagi meneruskannya. Ia berdiri dan meninggalkan Riri sendiri tanpa mohon undur diri dengan Riri. Ia berjalan cepat dan tidak membalikkan tubuhnya sementara Riri terdiam dalam kebingungannya terhadapa sikap Lukman.
***
Riri kembali menjalankan pekerjaannya kala senja telah berlabuh. Ia kini sudah berada di jalan Nusantara. Jalan yang menjadi tempat ia mengais rezekinya. Jalan yang kebanyakan orang telah mengetahuinya dan mengerti karakter orang-orang yang berada di tempat itu. Semua sudah tahu, bukan lagi rahasia umum. Namun, malam ini Riri sudah sedari tadi di tempat itu. Duduk sambil mengepulkan asap roroknya.
Beberapa tawaran dari laki-laki yang ingin memuaskan nafsunya kepada Riri. Namun Riri masih menolaknya dan masih ingin menikmati kesendiriannya. Benak fikirnya bukan sebenarnya berada di tempat itu namun telah melanlang buana dalam fikiran tentang Lukman. Tentang sesuatu yang ia ingin katakan padanya. Meskipun Riri terlihat apatis namun ia sebenarnya sangat penasaran.
Riri melirik sekelilingnya menyaksikan glamor keindahan kota yang sudah akrab dengan dirinya. Ini adalah kota kelahirannya dan menjadi kota tempatnya menumpuhkan segala mimpi dan cita-citanya. Namun, ia tidak tahu ke mana cita-citanya akan berlabuh kelak dengan kondisi dirinya yang tak tentu arah tujuan hidupnya.
“Apa yang ingin kamu katan Man?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ia meraba dan berandai-andai semoga ia bisa bertemu dengan Lukman malam ini. Sebab tempat ini juga menjadi pangkalan mengais rezeki bagi dirinya. Namun, entah beberapa bulan yang lalu Riri tak pernah lagi melihat batang hidung Lukman di tempat ini. Riri semakin menikmati keindahan malam kota dengan kesendiriannya. Ia menolak semua tawaran yang ingin menjamah tubuhnya. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan. Riri menghilangkan kesepiannya dengan mengepulkan asap rokok sehingga ia benar-benar tidak merasa dalam kesepian.
“Itukan Lukman.” Bisiknya sambil beranjak dari duduknya. Seulas senyum kegembiraan melukis di wajahnya. Ia memperhatikan gerak-gerik Lukman dan ternyata ia hanya mencari tempat duduk dan menikmati malam dalam kesendiriannya seperti dengan yang ia lakukan.
Aku harus menghampirinya.” Gumamnya. Riri kemudian berjalan cepat melintasi jalan yang menjadi pemisah antara tempatnya dengan tempat Lukman. Saking cepatnya Riri berjalan sehingga ia tak memperhatikan sekelilingnya sehingga sebuah sepeda motor melibas dirinya dan Riri tersungkur jatuh di atas aspal.
“Ahhhhhkkkkkk,” ia berteriak. Semenit kemudian orang-orang berkerumun di dekatnya. Lukman tak tahu kalau orang yang tertabarak itu adalah Riri. Ia dengan santainya berjalan menghampiri kerumunan orang. Menyesak dalam kerumunan tersebut sehingga ia dekat sekali dengan tubuh Riri yang terbaring di atas aspal dengan bersimpah darah. Lukman langsung histeris dan memeluk tubuh Riri, di tengah kesadarannya yang masih tersisa, Riri melihat sekilas wajah Lukman dan memanggil namanya.
“Lukman.” Panggilnya lirih dan tak sadarkan diri. Lukman meminta kepada kerumunan orang untuk memanggil ambulance dengan suara yang mengiba dan emosi yang tertahan. Tak lama kemudian bunyi serine meliut-liut mengibas jalan menuju kerumunan tersebut.
“Ri. Riri.” Lukman terus menerus memanggil Riri dan menggoyangkan tubuh Riri yang bersimbah darah. Baju yang Lukman kenakanpun sudah memerah akibat darah segera yang berasal dari tubuh Riri, namun Lukman tak memperdulikan itu semua.
Riri dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sementara Lukman berada di samping Riri sambil memengang tangan dan memanggil namanya.
“Ri, sadar Ri. Jangan tinggalkan aku.” Ucapnya lirih dengan air mata yang terus menitik dari matanya.
“Sadar Ri. Sadar.” Pintanya berkali-kali. Seorang suster yang ada di samping Lukman mencoba menenangkannya namun tak ia hiraukan. Ia tidak lagi memperdulikannya selain memikirkan Riri.
“Ri, bangun. Aku akan menyampaikan apa yang aku sampai tadi waktu di kampus. Bangun Ri dan dengarkan.” Rintihnya penuh iba.
“Ri..” ambulance tiba di rumah sakit dan kemudian sebuah bangsal beroda mengankut dan membawa tubuh Riri ke ruang ICU. Lukman mengikuti di belakang suster yang bergerak cepat.
“Ri...” panggilnya.
“Maaf pak. Bapak tidak bisa masuk silahkan menunggu di luar saja.” Kata seorang suster dengan lembut. Kemudian ruang ICU tertutup sementara Lukman terus menunggu dengan baju yang penuh darah namun ia tidak memperdulikan dirinya.
Sejam lebih Lukman menunggu dari luar dan berharap cemas penuh khawatir atas apa yang akan terjadi pada diri Riri. Ia terus mengiba dan mondar-mandir di depan ruang ICU menunggu dokter keluar.
“Bagaimana dengan Riri dok?” tanyanya saat seorang dokter keluar dari ruang ICU. Ia langsung menepuk bahu Lukman.
“Bagaimana dengan Riri dok?” ia kembali mengulang pertanyaanya.
“Maaf dek, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, teman adek tidak bisa kami selamatkan. Itu di luar kuasa kami.” Jawab dokter sambil memegang pundak Lukman.
“Tidak dok. Riri tidak mungkin meninggal.” Ujar Lukman dengan emosi.
“Adek yang sabar. Pendaharan di otaknya sangat parah dan ia juga kekurangan darah. Kami sudah menggerakkan seluruh kemampuan dan usaha kami Tuhan berkehendak lain. Kamu yang sabar.” Kata dokter sambil menenangkan Lukman. Ia tidak bisa menguasai emosinya dan ambruk ke lantai. Ia menyandarkan tubuhnya yang sedikit kaku pada dinding rumah sakit.
“Seandainya. Seandainya saat itu.” Gumamnya pada dirinya.
“Riri, aku mencintaimu Ri. Tahukan kau apa yang ingin aku sampaikan padamu? Aku ingin mengatakan padamu bahwa aku ingin melamarmu Ri. Tapi kenapa kamu meninggalkanku sendiri Ri. Kau pergi untuk selamanya. Kenapa Ri? Kenapa?” rintihnya mengiba.
“Andai saja saat itu aku langsung mengatakannya padamu bahwa aku mencintaimu dan akan melamarmu. Mungkin kita sudah bersama Ri. Kita bersama merajut kasih.” Lukman berandai-andai dalam keadaannya yang tersungkur lemas. Ia tak mampu lagi berdiri. Wajahnya pucat.
“Ri, jangan pergi.”
***
BERSAMBUNG ...

Comments

Post a Comment