Lamaran Dari Lukman
R
|
iri berjalan menuju kampusnya. Ia sudah
tak pernah lagi berkomunikasi dengan teman-temannya yang lain; Lukman, Andri
dan Iza. Ia belajar untuk hidup sendiri dalam kesunyian dan kesepiaannya.
Selama beberapa hari ini, ia berdiam diri memikirkan dirinya yang mempunyai
kelainan seks; menyukai sesama jenisnya. Riri tidak tau mengapa ia memiliki
sikap seperti itu sebab ia juga tak mengingkannya. Ia menerawang kembali kepada
dirinya yang sebelumnya sampai saat ini.
“Pergaulan dan lingkungan.” Ujarnya tanpa
mengeluarkan suara. Ia sadar bahwa pergaulan dan lingkunganlah yang menyebabkan
ia menjadi perempuan lesbian. Perubahan manusia dan akan jadi apa ia nantinya
memang pergaulanlah dan lingkungan yang menjadi faktor pembentukan siapa diri
kita sebenarnya ke depan. Riri memutar semua ingatannya tentang siapa saja
teman-temannya selama ini dan bagaimana saja pergaulannya.
“Bukankah selama ini aku berteman dengan
komunitas perempuan yang mempunyai kelainan seks? Selain Lukman, Andri dan Iza merekalah
teman-temanku. Teman-teman yang tak punya gairah pada laki-laki sehingga ia
bisa memilih menjadi PSK sebab tak pernah sekalipun ia menikmatinya. Ia hanya
menginginkan uang dari laki-laki itu.”tuturnya pada dirinya sendiri.
Riri kini telah tahu apa penyebab dari
penyakit kelainan seks yang ia derita. Ia berjanji akan keluar dari komunitas
itu dan memilih menjadi perempuan normal yang mencintai laki-laki. Ia berjanji
pada dirinya sendiri bahwa ia akan melupakan perasaannya kepada Iza dan akan
belajar mencintai lawan jenisnya. Meskipun terasa berat ia lakukan untuk
melangkah menuju perubahan.
“Lukman,” Riri terhenti saat Lukman
menghadang jalannya.
“Kamu, bagaimana kabar Ri?” tanya Lukman.
“Baik.”
“Kamu ada waktu sebentar? Aku ingin
bicara sesuatu dengan kamu.” Ajak Lukman pada Riri.
“Ada. Mau bicara Apa Man?” tanyanya cari
tahu.
“Kita duduk di bawah sana. Nanti aku
jelaskan.” Sambil menunjuk ke arah pohon rindang di sudut taman kampus, Riri
dan Lukman melangkah menuju tempat yang Lukman maksud yakni tepat di bawah
pohon rindang tersebut.
“Silahkan duduk Ri.” Kata Lukman
mempersilahkan duduk kepada Riri. Lukman memperhatikan mahasiswa yang sedang
lalu lalang namun tak seramai hari senin dan kamis. Lukman kemudian memperbaiki
posisi duduknya dan menatap Riri dengan semakin mendekat pada Riri.
“Aku ingin kamu menjadi.......”
“Menjadi apa Man?” sela Riri yang
mendengarkan Lukman berbicara lambat tak jelas.
“Aku.... kamu ......” kembali Lukman
berbicara tak jelas.
“Aku. Kamu. Maksudnya apa Man? Bicaralah
yang jelas biar aku bisa mengerti.” Kembali Riri meyelah ucapan Lukman. Ia
kemudian berhenti sejenak mengatur nafasnya dan berusaha menghentikan gemuruh
yang terdengar dahsyat dari dalam dadanya. Padahal ia sudah lama bersama dengan
Riri namun baru kali ini ia bergetar hebat kala bersama dengan Riri. Lukman
heran dengan dirinya sendiri lebih-lebih dengan Riri yang sedari tadi tidak
mengerti maksud dari Lukman.
Semuanya berlalu begitu cepat. Namun
Lukman masih belum bisa menguasai dirinya. Ia belum punya keberanian cukup
untuk menjelaskan secara jelas dan detail kepada Riri maksud hatinya. Meskipun
ia sudah berusaha maksimal namun hasilnya sia-sia saja. Lukman tidak bisa.
“Man.” Riri mencoba menjalarkan
keberanian pada Lukman dan membuatnya sedikit rileks dengan menepuk bahunya.
“Kamu kenapa? Sampaikanlah sesuatu yang
kau janjikan untukku? Kamu ini temanku Man dan kita sudah berteman cukup lama
jadi tak perlu kau sungkan denganku.” Kembali Riri meyakinkan Lukman. Ia
kemudian memperbaiki posisinya dan menghadap dengan posisi duduk Riri. Ia
menatapnya dan berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia bisa.
“Ri, aku....” suara Lukman kembali
terbata-bata dan tak mampu lagi meneruskannya. Ia berdiri dan meninggalkan Riri
sendiri tanpa mohon undur diri dengan Riri. Ia berjalan cepat dan tidak
membalikkan tubuhnya sementara Riri terdiam dalam kebingungannya terhadapa
sikap Lukman.
***
Riri kembali menjalankan pekerjaannya
kala senja telah berlabuh. Ia kini sudah berada di jalan Nusantara. Jalan yang
menjadi tempat ia mengais rezekinya. Jalan yang kebanyakan orang telah
mengetahuinya dan mengerti karakter orang-orang yang berada di tempat itu.
Semua sudah tahu, bukan lagi rahasia umum. Namun, malam ini Riri sudah sedari
tadi di tempat itu. Duduk sambil mengepulkan asap roroknya.
Beberapa tawaran dari laki-laki yang
ingin memuaskan nafsunya kepada Riri. Namun Riri masih menolaknya dan masih
ingin menikmati kesendiriannya. Benak fikirnya bukan sebenarnya berada di
tempat itu namun telah melanlang buana dalam fikiran tentang Lukman. Tentang
sesuatu yang ia ingin katakan padanya. Meskipun Riri terlihat apatis namun ia
sebenarnya sangat penasaran.
Riri melirik sekelilingnya menyaksikan
glamor keindahan kota yang sudah akrab dengan dirinya. Ini adalah kota
kelahirannya dan menjadi kota tempatnya menumpuhkan segala mimpi dan
cita-citanya. Namun, ia tidak tahu ke mana cita-citanya akan berlabuh kelak
dengan kondisi dirinya yang tak tentu arah tujuan hidupnya.
“Apa yang ingin kamu katan Man?” tanyanya
pada dirinya sendiri. Ia meraba dan berandai-andai semoga ia bisa bertemu
dengan Lukman malam ini. Sebab tempat ini juga menjadi pangkalan mengais rezeki
bagi dirinya. Namun, entah beberapa bulan yang lalu Riri tak pernah lagi
melihat batang hidung Lukman di tempat ini. Riri semakin menikmati keindahan
malam kota dengan kesendiriannya. Ia menolak semua tawaran yang ingin menjamah
tubuhnya. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan. Riri menghilangkan
kesepiannya dengan mengepulkan asap rokok sehingga ia benar-benar tidak merasa
dalam kesepian.
“Itukan Lukman.” Bisiknya sambil beranjak
dari duduknya. Seulas senyum kegembiraan melukis di wajahnya. Ia memperhatikan
gerak-gerik Lukman dan ternyata ia hanya mencari tempat duduk dan menikmati
malam dalam kesendiriannya seperti dengan yang ia lakukan.
“ Aku
harus menghampirinya.” Gumamnya. Riri kemudian berjalan cepat melintasi jalan
yang menjadi pemisah antara tempatnya dengan tempat Lukman. Saking cepatnya
Riri berjalan sehingga ia tak memperhatikan sekelilingnya sehingga sebuah sepeda
motor melibas dirinya dan Riri tersungkur jatuh di atas aspal.
“Ahhhhhkkkkkk,” ia berteriak. Semenit
kemudian orang-orang berkerumun di dekatnya. Lukman tak tahu kalau orang yang
tertabarak itu adalah Riri. Ia dengan santainya berjalan menghampiri kerumunan
orang. Menyesak dalam kerumunan tersebut sehingga ia dekat sekali dengan tubuh
Riri yang terbaring di atas aspal dengan bersimpah darah. Lukman langsung
histeris dan memeluk tubuh Riri, di tengah kesadarannya yang masih tersisa,
Riri melihat sekilas wajah Lukman dan memanggil namanya.
“Lukman.” Panggilnya lirih dan tak
sadarkan diri. Lukman meminta kepada kerumunan orang untuk memanggil ambulance
dengan suara yang mengiba dan emosi yang tertahan. Tak lama kemudian bunyi
serine meliut-liut mengibas jalan menuju kerumunan tersebut.
“Ri. Riri.” Lukman terus menerus
memanggil Riri dan menggoyangkan tubuh Riri yang bersimbah darah. Baju yang
Lukman kenakanpun sudah memerah akibat darah segera yang berasal dari tubuh
Riri, namun Lukman tak memperdulikan itu semua.
Riri dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Sementara Lukman berada di samping Riri sambil memengang tangan dan memanggil
namanya.
“Ri, sadar Ri. Jangan tinggalkan aku.”
Ucapnya lirih dengan air mata yang terus menitik dari matanya.
“Sadar Ri. Sadar.” Pintanya berkali-kali.
Seorang suster yang ada di samping Lukman mencoba menenangkannya namun tak ia
hiraukan. Ia tidak lagi memperdulikannya selain memikirkan Riri.
“Ri, bangun. Aku akan menyampaikan apa
yang aku sampai tadi waktu di kampus. Bangun Ri dan dengarkan.” Rintihnya penuh
iba.
“Ri..” ambulance tiba di rumah sakit dan
kemudian sebuah bangsal beroda mengankut dan membawa tubuh Riri ke ruang ICU.
Lukman mengikuti di belakang suster yang bergerak cepat.
“Ri...” panggilnya.
“Maaf pak. Bapak tidak bisa masuk
silahkan menunggu di luar saja.” Kata seorang suster dengan lembut. Kemudian
ruang ICU tertutup sementara Lukman terus menunggu dengan baju yang penuh darah
namun ia tidak memperdulikan dirinya.
Sejam lebih Lukman menunggu dari luar dan
berharap cemas penuh khawatir atas apa yang akan terjadi pada diri Riri. Ia
terus mengiba dan mondar-mandir di depan ruang ICU menunggu dokter keluar.
“Bagaimana dengan Riri dok?” tanyanya
saat seorang dokter keluar dari ruang ICU. Ia langsung menepuk bahu Lukman.
“Bagaimana dengan Riri dok?” ia kembali
mengulang pertanyaanya.
“Maaf dek, kami sudah berusaha semaksimal
mungkin. Namun, teman adek tidak bisa kami selamatkan. Itu di luar kuasa kami.”
Jawab dokter sambil memegang pundak Lukman.
“Tidak dok. Riri tidak mungkin
meninggal.” Ujar Lukman dengan emosi.
“Adek yang sabar. Pendaharan di otaknya
sangat parah dan ia juga kekurangan darah. Kami sudah menggerakkan seluruh
kemampuan dan usaha kami Tuhan berkehendak lain. Kamu yang sabar.” Kata dokter
sambil menenangkan Lukman. Ia tidak bisa menguasai emosinya dan ambruk ke
lantai. Ia menyandarkan tubuhnya yang sedikit kaku pada dinding rumah sakit.
“Seandainya. Seandainya saat itu.”
Gumamnya pada dirinya.
“Riri, aku mencintaimu Ri. Tahukan kau
apa yang ingin aku sampaikan padamu? Aku ingin mengatakan padamu bahwa aku
ingin melamarmu Ri. Tapi kenapa kamu meninggalkanku sendiri Ri. Kau pergi untuk
selamanya. Kenapa Ri? Kenapa?” rintihnya mengiba.
“Andai saja saat itu aku langsung
mengatakannya padamu bahwa aku mencintaimu dan akan melamarmu. Mungkin kita
sudah bersama Ri. Kita bersama merajut kasih.” Lukman berandai-andai dalam
keadaannya yang tersungkur lemas. Ia tak mampu lagi berdiri. Wajahnya pucat.
“Ri, jangan pergi.”
***
BERSAMBUNG ...
Mantep kak ceritanya. Heheh
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga menginspirasi dan memberi manfaat
Delete