Memori Masa Silam
H
|
ujan mengguyur tanah kota Daeng sehingga
membuat banjir setinggi tumit manusia pada ruas jalan utama. Aku memilih
kembali ke rumah kontrakanku dari pada menikmati hangatnya suasana hotel. Aku
terperangkap oleh kemacetan saat menuju pulang ke rumahku. Hujan semakin
derasnya dan kunikmati rintihan-rintihan hujan yang berjatuhan pada mobil taxi
yang aku tumpangi. Iramanya mengingatkanku pada memori masa silamku di kampung
halamanku. Gemericik jatuhnya mengantarkan aku menjelajahi masa silamku saat
duniaku saat itu di penuhi dengan dunia bermain bersama teman-teman sebayaku.
Dari balik jendela taxi ini aku membiarkan benak fikirku memulai perjalanannya
menuju memori masa silam.
“Ria, lari ke sini nanti Afzan
melihatmu,” panggilku pada Ria di tengah derasnya hujan. Namun, kami tak
memperdulikannya. Kami tetap bermain petak umpek.
“Iza, di belakangmu,”
“Apa di belakangku?” tanyaku tanpa
membalikkan badanku melihat ke arah belakangku.
“Dapat kau Iza.” Sentak aku kaget saat
dengan kerasnya Afzan memukul bahuku. Akhirnya aku kedapatan duluan. Kami semua
tertawa. Dan berlari menerobos hujan sambil bergandengan tangan. Kami tertawa
lepas dengan bahagianya. Hingga ibuku kewalahan saat dua hari setelah kami
bermain petak umpek kala hujan itu aku sakit demam.
“Makanya nak, kalau hujan itu yah diam di
rumah jangan keluyuran sambil main hujan-hujanan. Kan ini hasilnya? Kamu sakit
demam. Kamu tidak bisa pergi ke sekolah.” Nasehat ibuku yang sedang menyiapkan
makanan dan obat untukku. Aku hanya terbaring lemah sambil mendengarkan semua
perkataan ibu.
“Kalau Iza sakit, tidak ke sekolah
bagaimana Iza bisa jadi juara kelas? Kan mimpi Iza ingin jadi juara kelas?”
lanjutnya sambil menyuapiku makanan. Lagi-lagi aku hanya terdiam dan berjanji
pada diriku bahwa kejadian seperti itu tidak akan terulang lagi. Tidak akan.
Aku tidak ingin membuat ibu repot. Aku harus menjadi juara kelas supaya bisa
membahagiakan ibuku. Tekadku kala itu.
Besoknya kala mentari mulai bersinar dan
tetesan embun berjatuh dari dedaunan di samping rumahku, Aku kembali menuju
sekolah meskipun ibu khawatir sebab aku belum terlalu sembuh namun aku
meyakinka ibu bahwa aku telah sembuh.
“Insya Allah, Iza sudah sembuh bu. Ibu
tidak usah khawatir dengan Iza.” Kataku meyakinkan ibu sambil tersenyum ibu
mengelus rambutku yang kubiarkan terurai. Aku mencium punggung tangannya dan
berlari menuju sekolahku.
“Tahun ini aku harus jadi juara kelas,”
bisikku dengan mantap.
***
Hari ini adalah hari peneriman Rapor
untuk sekolahku. Semua orang tua siswa dipanggil untuk mewakili anaknya. Sebab
siswa akan menerima penghargaan dan beasiswa prestasi dari sekolah untuk siswa
yang berhasil menjuarai kelasnya dengan nilai yang tinggi. Selama ini aku sudah
belajar keras dan sangat berharap aku menjadi salah satu siswa yang menjadi
juara kelas dan berhasil mendapatkan beasiswa sebab dengan demikian aku bisa
membantu ibu meringankan beban biaya yang ia tanggungkan untukku.
Orang tuaku datang dengan pakaian
seadanya. Tidak seperti yang orang tua teman-temanku yang tampil dengan penuh
kemewahan. Kemewahan yang berbalut kesombongan. Kadang ada rasa iri yang
menyelinap dalam diriku yang lemah ini namun, semua tak kubiarkan berdiam dalam
hatiku sebab cinta dan kasih sayang ibuku sudah memiliki tempat dan ruang yang
lebih luas di hatiku dari pada harus menempatkan rasa iri itu pada hatiku yang
hanya menjadi beban buatku yang terus mengusikku.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempatan dan
kesehatan kepada kita semua, sehingga hari ini kita dapat berkumpul dalam acara
penerimaan rapor siswa dan dilanjutkan dengan pemberian beasiswa berprestasi
kepada siswa yang berhasil menjuarai kelasnya masing-masing.” Ucap kepala
sekolah mengawali pidatonya. Aku harap-harap cemas dibuat oleh kepala sekolah
yang terlalu lama menyampaikan pidatonya. Aku ingin kepala sekolah segera
menyampaikan nama-nama siswa yang telah berhasil menjuarai kelas dan dengan
begitu ia juga berhasil mendapatkan beasiswa prestasi. Sejam lebih aku telah
menunggu pengumuman yang berarti bagiku dan berarti buat ibuku.
“Baik, ibu-ibu dan bapak-bapak yang kami
hormati. Tibalah saatnya kami mengumumkan nama-nama siswa dan siswi yang
mendapat juara kelas dan berhasil mendapatkan beasiswa berprestasi.....” kepala
sekolah menghentikan kalimatnya dan semakin membuat hatiku berdegup kencang.
Tubuhku kurasa kaku sebab aliran darahku terhenti. Aku terus berdoa dan
mengigit jemariku dalam genggamanku. Sementara kepala sekolah sibuk membuka
sebuah amplop besar yang bertuliskan nama-nama siswa yang dianggap berkualitas
dan mempunyai nilai lebih dari siswa yang lain.
Kepala sekolah membuka amplop besar
tersebut dan mengumumkan nama siswa yang berhasil meraih juara kelas.
“Faiza Aliya Aziza dengan nilai tertinggi
sepanjang sejarah sekolah ini didirikan.” Aku melompat kegirangan dan memeluk
ibu dengan eratnya. Kulihat di sudut mata ibu yang berbinar tetesan air mata
berjatuhan sebagai saksi dan tanda keharuan ibu atas prestasi yang aku raih
tahun ini. Sementara kepala sekolah kembali mengumumkan nama siswa yang lain.
Dan kudengar Ria dan Afzan juga berhasil menjuarai kelas mereka dan kami
bertiga dan siswa yang lain sebanyak sepuluh orang berhasil mendapatkan
beasiswa berprestasi. Aku sangat bahagia dan kembali ibu mengecup keningku dengan
air mata yang masih mengalir membasahi pipinya. Aku menyekaknya dan membisikkan
sesuatu kepada ibu yang membuatnya semakin haru.
“Terima kasih bu, sudah mengajari Iza
untuk menjadi anak yang membanggakan orangtua.” Bisikku.
“Kepada siswa yang bapak sebutkan namanya
silahkan maju ke depan menaiki panggung utama. Dan kepada bapak Kepala Dinas
Pendidikan sudi kiranya memberikan piagam beasiswa secara langsung kepada
siswa-siswa kami yang berprestasi gemilang ini.” Tutur kepala sekolah
mengakhiri pidatonya. Aku bersama siswa yang lain maju ke depan dan kulihat
kepala sekolah bersama dengan Kepala Dinas Pendidikan juga mengarah kepada
kami. Kulihat ibu masih menyekak air matanya yang mengalir deras bak mata air
yang tak pernah ada habisnya. Aku tak bisa menguasai emosiku kala bapak kepada
sekolah dan Kepala Dinas Pendidikan menyalamiku sambil memberikan piagam
beasiswa tersebut. Aku terharu sehingga bendungan danau itupun meleleh dari
mataku sebab tak mampu membendungnya.
“Terus mengukir prestasi nak.”
***
Bunyi klakson mobil membuyarkan
penjelajahanku pada memori masa silamku. Dan kulirik dalam jendela taxi hujan
tak lagi deras hanya beberapa rintik-rintiknya saja yang masih berjatuh. Hanya
gerimis. Hujan telah berlalu dan ruas jalan tak lagi dipadati oleh lalu lalang
kendaraan. Taxi mulai melaju mengantarkan diriku menuju rumah kontrakanku.
Perasaan rindu kepada ibuku kembali menjalari seluruh tubuhku seiring dengan
aliran darahku dalam tubuh.
Aku menyandarkan kepala pada sandara
duduk bangku taxi. Aku merasa kelelahan dan memasrahkan tubuhku untuk rehat
dalam senandung mimpi yang memanggil-manggil diriku. Aku merasa ada sesuatu
yang mengelus pelupuk mataku hingga aku tak berdaya untuk melawannya. Aku
membiarkannya memanjakan diriku dan terlena dalam mengaruhki kabut mimpi yang
indah. Mungkin saja dengan begini aku bisa melanjutkan penjelajahanku ke memori
masa silamku yang sempat terhenti. Harapku sambil menutup mata.
***
BERSAMBUNG ...
Comments
Post a Comment