Hidayah di Kaki Langit (Bag. 7)





Memori Masa Silam
H
ujan mengguyur tanah kota Daeng sehingga membuat banjir setinggi tumit manusia pada ruas jalan utama. Aku memilih kembali ke rumah kontrakanku dari pada menikmati hangatnya suasana hotel. Aku terperangkap oleh kemacetan saat menuju pulang ke rumahku. Hujan semakin derasnya dan kunikmati rintihan-rintihan hujan yang berjatuhan pada mobil taxi yang aku tumpangi. Iramanya mengingatkanku pada memori masa silamku di kampung halamanku. Gemericik jatuhnya mengantarkan aku menjelajahi masa silamku saat duniaku saat itu di penuhi dengan dunia bermain bersama teman-teman sebayaku. Dari balik jendela taxi ini aku membiarkan benak fikirku memulai perjalanannya menuju memori masa silam.
“Ria, lari ke sini nanti Afzan melihatmu,” panggilku pada Ria di tengah derasnya hujan. Namun, kami tak memperdulikannya. Kami tetap bermain petak umpek.
“Iza, di belakangmu,”
“Apa di belakangku?” tanyaku tanpa membalikkan badanku melihat ke arah belakangku.
“Dapat kau Iza.” Sentak aku kaget saat dengan kerasnya Afzan memukul bahuku. Akhirnya aku kedapatan duluan. Kami semua tertawa. Dan berlari menerobos hujan sambil bergandengan tangan. Kami tertawa lepas dengan bahagianya. Hingga ibuku kewalahan saat dua hari setelah kami bermain petak umpek kala hujan itu aku sakit demam.
“Makanya nak, kalau hujan itu yah diam di rumah jangan keluyuran sambil main hujan-hujanan. Kan ini hasilnya? Kamu sakit demam. Kamu tidak bisa pergi ke sekolah.” Nasehat ibuku yang sedang menyiapkan makanan dan obat untukku. Aku hanya terbaring lemah sambil mendengarkan semua perkataan ibu.
“Kalau Iza sakit, tidak ke sekolah bagaimana Iza bisa jadi juara kelas? Kan mimpi Iza ingin jadi juara kelas?” lanjutnya sambil menyuapiku makanan. Lagi-lagi aku hanya terdiam dan berjanji pada diriku bahwa kejadian seperti itu tidak akan terulang lagi. Tidak akan. Aku tidak ingin membuat ibu repot. Aku harus menjadi juara kelas supaya bisa membahagiakan ibuku. Tekadku kala itu.
Besoknya kala mentari mulai bersinar dan tetesan embun berjatuh dari dedaunan di samping rumahku, Aku kembali menuju sekolah meskipun ibu khawatir sebab aku belum terlalu sembuh namun aku meyakinka ibu bahwa aku telah sembuh.
“Insya Allah, Iza sudah sembuh bu. Ibu tidak usah khawatir dengan Iza.” Kataku meyakinkan ibu sambil tersenyum ibu mengelus rambutku yang kubiarkan terurai. Aku mencium punggung tangannya dan berlari menuju sekolahku.
“Tahun ini aku harus jadi juara kelas,” bisikku dengan mantap.
***
Hari ini adalah hari peneriman Rapor untuk sekolahku. Semua orang tua siswa dipanggil untuk mewakili anaknya. Sebab siswa akan menerima penghargaan dan beasiswa prestasi dari sekolah untuk siswa yang berhasil menjuarai kelasnya dengan nilai yang tinggi. Selama ini aku sudah belajar keras dan sangat berharap aku menjadi salah satu siswa yang menjadi juara kelas dan berhasil mendapatkan beasiswa sebab dengan demikian aku bisa membantu ibu meringankan beban biaya yang ia tanggungkan untukku.
Orang tuaku datang dengan pakaian seadanya. Tidak seperti yang orang tua teman-temanku yang tampil dengan penuh kemewahan. Kemewahan yang berbalut kesombongan. Kadang ada rasa iri yang menyelinap dalam diriku yang lemah ini namun, semua tak kubiarkan berdiam dalam hatiku sebab cinta dan kasih sayang ibuku sudah memiliki tempat dan ruang yang lebih luas di hatiku dari pada harus menempatkan rasa iri itu pada hatiku yang hanya menjadi beban buatku yang terus mengusikku.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada kita semua, sehingga hari ini kita dapat berkumpul dalam acara penerimaan rapor siswa dan dilanjutkan dengan pemberian beasiswa berprestasi kepada siswa yang berhasil menjuarai kelasnya masing-masing.” Ucap kepala sekolah mengawali pidatonya. Aku harap-harap cemas dibuat oleh kepala sekolah yang terlalu lama menyampaikan pidatonya. Aku ingin kepala sekolah segera menyampaikan nama-nama siswa yang telah berhasil menjuarai kelas dan dengan begitu ia juga berhasil mendapatkan beasiswa prestasi. Sejam lebih aku telah menunggu pengumuman yang berarti bagiku dan berarti buat ibuku.
“Baik, ibu-ibu dan bapak-bapak yang kami hormati. Tibalah saatnya kami mengumumkan nama-nama siswa dan siswi yang mendapat juara kelas dan berhasil mendapatkan beasiswa berprestasi.....” kepala sekolah menghentikan kalimatnya dan semakin membuat hatiku berdegup kencang. Tubuhku kurasa kaku sebab aliran darahku terhenti. Aku terus berdoa dan mengigit jemariku dalam genggamanku. Sementara kepala sekolah sibuk membuka sebuah amplop besar yang bertuliskan nama-nama siswa yang dianggap berkualitas dan mempunyai nilai lebih dari siswa yang lain.
Kepala sekolah membuka amplop besar tersebut dan mengumumkan nama siswa yang berhasil meraih juara kelas.
“Faiza Aliya Aziza dengan nilai tertinggi sepanjang sejarah sekolah ini didirikan.” Aku melompat kegirangan dan memeluk ibu dengan eratnya. Kulihat di sudut mata ibu yang berbinar tetesan air mata berjatuhan sebagai saksi dan tanda keharuan ibu atas prestasi yang aku raih tahun ini. Sementara kepala sekolah kembali mengumumkan nama siswa yang lain. Dan kudengar Ria dan Afzan juga berhasil menjuarai kelas mereka dan kami bertiga dan siswa yang lain sebanyak sepuluh orang berhasil mendapatkan beasiswa berprestasi. Aku sangat bahagia dan kembali ibu mengecup keningku dengan air mata yang masih mengalir membasahi pipinya. Aku menyekaknya dan membisikkan sesuatu kepada ibu yang membuatnya semakin haru.
“Terima kasih bu, sudah mengajari Iza untuk menjadi anak yang membanggakan orangtua.” Bisikku.
“Kepada siswa yang bapak sebutkan namanya silahkan maju ke depan menaiki panggung utama. Dan kepada bapak Kepala Dinas Pendidikan sudi kiranya memberikan piagam beasiswa secara langsung kepada siswa-siswa kami yang berprestasi gemilang ini.” Tutur kepala sekolah mengakhiri pidatonya. Aku bersama siswa yang lain maju ke depan dan kulihat kepala sekolah bersama dengan Kepala Dinas Pendidikan juga mengarah kepada kami. Kulihat ibu masih menyekak air matanya yang mengalir deras bak mata air yang tak pernah ada habisnya. Aku tak bisa menguasai emosiku kala bapak kepada sekolah dan Kepala Dinas Pendidikan menyalamiku sambil memberikan piagam beasiswa tersebut. Aku terharu sehingga bendungan danau itupun meleleh dari mataku sebab tak mampu membendungnya.
“Terus mengukir prestasi nak.”
***
Bunyi klakson mobil membuyarkan penjelajahanku pada memori masa silamku. Dan kulirik dalam jendela taxi hujan tak lagi deras hanya beberapa rintik-rintiknya saja yang masih berjatuh. Hanya gerimis. Hujan telah berlalu dan ruas jalan tak lagi dipadati oleh lalu lalang kendaraan. Taxi mulai melaju mengantarkan diriku menuju rumah kontrakanku. Perasaan rindu kepada ibuku kembali menjalari seluruh tubuhku seiring dengan aliran darahku dalam tubuh.
Aku menyandarkan kepala pada sandara duduk bangku taxi. Aku merasa kelelahan dan memasrahkan tubuhku untuk rehat dalam senandung mimpi yang memanggil-manggil diriku. Aku merasa ada sesuatu yang mengelus pelupuk mataku hingga aku tak berdaya untuk melawannya. Aku membiarkannya memanjakan diriku dan terlena dalam mengaruhki kabut mimpi yang indah. Mungkin saja dengan begini aku bisa melanjutkan penjelajahanku ke memori masa silamku yang sempat terhenti. Harapku sambil menutup mata.
***
BERSAMBUNG ...

Comments