Berkubang Dengan Maksiat
S
|
enja kita berganti malam. Lembayu
kerinduan telah terpancar melalui sinar rembulan yang menutupi terangnya sang
surya. Sudah lama kini aku hidup bersama dengan Irsan sebagai simpanannya namun
tak pernah sekalipun Irsan meneyentuhku. Kami hidup layaknya suami istri namun
tak pernah sekali pun kami melakukan hubungan suami istri melainkan kamu
layaknya kakak beradik yang hidup ditinggal pergi oleh kedua orang tua kami.
Pernah suatu ketika aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini. Hubungan
kami berdua. Namun, dengan lembut Irsan membuatku bungkam.
“Tak perlu kau bertanya padaku tentang
hubungan ini Iza. Tentang mengapa sampai saat ini aku tidak pernah sekalipun
menyentuhmu. Aku bukannya tidak bergairah denganmu namun aku tahan sebab selama
kebersamaan kita aku selalu menganggapmu adik ku. Dengan begitu aku bisa
menahan nafsu untukku muarakan padamu. Aku tidak ingin melakukannya dengan
kesenanganku sementara engkau menangis dalam senyummu. Aku ingin melakukannya
kelak dengan cinta. Melakukannya sebab kita sama-sama sadar dan suka. Itulah
yang kuinginkan Za.” Paparnya panjang lebar membuatku bungkam kala itu yang
dilingkupi rasa kagum pada sosok laki-laki sepertinya untuk yang kedua kali.
Pertama kepada laki-laki yang telah menolongku yang sampai hari ini aku tidak
tahu siapa namanya. Dan yang kedua adalah Irsan. Irsan yang telah menjadikanku
simpanannya. Namun, semua itu membuat bahagia sebab dengan begini aku tidak
pernah lagi menjajahkan tubuh di tempat dunia malam yang selama ini kulakukan.
“Mulai malam ini, kamu tidak perlu lagi
bekerja dalam dunia malammu. Tidak perlu kau pakai tubuhmu lagi untuk laki-laki
lain hanya untuk mendapatkan lembaran-lembaran rupiah. Mulai malam ini kamu
menjadi tanggunganku dan semua kebutuhanmu menjadi kewajibanku untuk aku
penuhi.” Ujarnya saat itu. Saat di mana aku kembali menginap di hotel yang ia
sewa untuk kami berdua.
Hari demi hari kulalui bersamanya dengan
penuh canda dan tawa tanpa sedikitpun ada kesedihan yang menghiasi. Namun, yang
aku herankan pada diriku sampai saat ini aku tidak pernah menemukan setitik
cinta untuk Irsan. Melainkan cintaku ini hanya untuk dia seorang; laki-laki
yang telah menolongku kala itu. Tapi semua itu tidak masalah bagiku sebab Irsan
tak menuntut padaku untuk mencintainya. Ia hanya ingin aku menemaninya.
Menemaninya membelah kesepian dan kesunyian yang ia rasa.
Malam semakin syahdu. Aku menyetel TV
untuk memanjakan diriku dengan duduk berselonjoran di atas sofa empuk berwarna
krem. Aku duduk bersantai sendiri sambil menunggu Irsan yang belum pulang dari
kantor kerjanya. Sesekali aku melirik jam tangan bening yang aku kenakan di
tangan kananku.
“Sudah larut malam,” bisikku saat melihat
angka jarum jam memang telah menunjukkan waktu yang larut. Ada kerinduan yang
aku rasakan pada Irsan sebab baru malam ini ia terlambat pulang. Ada
kekhawatiran yang aku rasakan. Aku menuju jendela kamar hotel dan kusaksikan
kota malam ini begitu indah. Sangat indah dan kusaksikan semua ini dari lantai
3. Namun, jalanan mulai lengah. Namun itu wajar sebab telah larut malam.
“Kenapa Irsan belum datang juga?” tanyaku
pada diriku sendiri yang masih mengarahkan pandanganku jauh ke gedung yang
menjulang tinggi seakan ingin menembus petala langit. Aku mondar-mandir
kemudian duduk berpangku tangan di atas sofa tempat aku duduk pertama kalinya. remote
TV dari tadi aku pencet hingga tak ada satupun siaran TV yang aku lihat
dengan jelas. Aku semakin khawatir namun aku tidak bisa berbuat apa-apa.
***
Isbullah terjaga dari tidurnya dan
bersegera untuk melaksanakan Tahajjud di sepertiga malam yang masih tersisa.
Ada bekas pukulan yang terlihat tepat di kening sebelah kirinya. Itulah bekas
peristiwa yang terjadi di lorong waktu lalu saat ia mendapat hantaman puluhan
pukulan dari Lukman atas permintaan Riri. Namun, Isbullah tak sedikitpun
mengerti dan tak tahu sama sekali mengapai Lukman melakukan hal itu padanya.
Ramdan saat itu ingin memprosesnya secara hukum dengan mengajukan laporan di
kepolisian atas tindakan penganiyaan. Namun, Isbullah melarangnya dan
mengikhlaskan semuanya. Tapi Ramdan tetap ngotok, namun Isbullah tetap
melarangnya dan menjelaskan alasannya pada Ramdan sehingga ia luluh dengan
penjelasan dari Isbullah.
“Sudahlah Dan, kita tak perlu
memprosesnya secara hukum. Masalahnya tambah rumit. Aku tidak apa-apa kok,
insya Allah aku sudah ikhlas sebab dengan seperti ini Allah akan meningkatkan
kadar ke-imananku dan akan meleburkan dosa-dosa yang telah aku lakukan selama
ini. Tidak kah kamu pernah mendengarkan Rasullullah manusia Agung budi
pekertinya bersabda bahwa tidaklah seorang hamba di berikan ujian melainkan
Allah menghapuskan dosa-dosanya. Aku ingin Allah menjadikan peristiwa yang aku
alami ini adalah kafarat bagiku. Aku ingin belajar mencintai Allah dengan
selalu ikhlas dengan ketentuan-Nya. Aku ingin belajar dekat dengan Allah dengan
selalu bersabar atas apa yang Dia timpahkan padaku. Aku akan jadikan peristiwa
ini sebuah pelajaran yang harus aku petik ibrahnya Dan. Insya Allah semoga
Allah selalu menjaga hatiku untuk ikhlas dan menanamkan benih-benih kesabaran
dalam hatiku sebagai hamba-Nya yang lemah.” Jelas Isbullah kala itu.
Isbullah telah mengelar sajadah
panjangnya dan memulai pengadiannya pada Rabb-nya. Ia meleburkan semua
fikirannya hanya pada Allah hingga tak ada lagi ingatan selain tentang-Nya.
Sementara diwaktu yang sama di hotel jalan Yos Sudarso aku masih menunggu Irsan
pulang sambil terus berbaring di atas sofa.
Tepat adzan subuh terdengar dari menara
masjid, Irsan membuka pintu kamar hotel. Aku merasa bahagia sebab laki-laki
yang aku tunggu telah datang.
“Ke mana aja San? Kok baru pulang?”
tanyaku sambil mengambil tas kantornya yang ada di tangannya. Ia tersenyum
padaku sambil membuka dasi yang masih terpasang di bawah lehernya.
“Tadi ada meeting dengan klain baru Za,
makanya aku pulangnya lambat. Kamu sudah makan Za?”
“Belum San, sebab aku menunggumu untuk
makan bersama. Aku rindu denganmu untuk makan bersama lagi San.” Jawabku sambil
menatap bola mata Irsan. Begitupun dengan Irsan sehingga pandangan kami
bertemu.
“San,” panggilku padanya sambil mendekat
dengannya.
“Iya Iza?” suaranya sambil terus
memandangiku. Kulihat matanya berbinar. Dan aku melempar senyum padanya.
“Iza, boleh aku meminta sesuatu padamu?”
pintanya sambil memegang tanganku. Aku hanya memberikan seulas senyumku dan
membuatnya mengerti.
“Aku ingin melakukannya pagi ini
bersamamu. Aku ingin kita melakukannya untuk yang pertama kalinya Za. Namun aku
tidak akan memaksamu. Aku hanya akan melakukannya jika kamu pun begitu. Seperti
kataku sebelumnya. Bolehkah?” pintanya sekali lagi. Aku hanya mampu menatap
matanya kembali tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Aku ingin melakukannya dengan sadar dan
atas dasar suka sama suka. Aku ingin melewati percintaan ini dengan bahagia Za
tanpa harus menyayat hati dan mengorbankan perasaanmu. Mungkin setelah ini aku
tidak akan memintanya. Aku berjanji pada diriku bahwa hanya kali ini. Dan
sekali saja ini aku ingin menikmatinya dan bercumbu denganmu dengan cinta yang
tulus dariku namun aku tidak akan memaksamu untuk memberikan cintamu untukku.
Hanya saja kita melakukannya dengan sadar dan suka. Itu saja pintaku Za.” Aku
memperbaiki posisi dudukku dan memegang tangan Irsan sambil berbisik lirih.
“Aku siap San. Aku akan melakukannya
sesuai dengan yang kau kehendaki. Aku juga tak mengapa jika ini kita lakukan
berkali-kali. Aku tidak apa-apa.” Jawabku pendek sambil mencium tangannya.
“Tidak Za, hanya kali ini. Aku janji pada
diriku dan kuingin engkaupun janji pada dirimu untuk melakukannya hanya kali
ini saja.” Tutur Irsan dengan mantap sambil menatapku dengan tajam. Aku
meng-iyakan dan menyandarkan tubuhku di depan dadanya. Kemudian kamipun
melakukannya. Melakukan dosa terindah menurut kami berdua pada dasar suka sama
suka dengan penuh kesadaran. Dosa terindah yang membuat dadaku berdegup lebih
kencang dan semua rasaku kuleburkan pada dirinya. Namun dengan sadarnya, entah
dari mana awalnya dan dari mana datangnya, hatiku berbisik lembut.
“Berkubang dengan maksiat.” Yah aku
betulkan bisikkan hatiku sebab aku memang telah berkubang dengan maksiat.
Berkubang dengan cukup lama dan tak kenal lagi mana dosa dan mana yang bukan.
Namun pagi ini telah terbukti bahwa aku kembali berkubang dengan maksiat.
Maksiat dosa terindah yang kami lakukan seiring dengan ranjakan mentari. Semua
hasratku kupadukan pada Irsan dan membuat hatiku berbunga-bunga hingga aku bisa
menghirup udara surga duniawi dan hatiku ikut mendendangkan kidung-kidung
cinta. Meski ini adalah cinta terlarang yang tak diperbolehkan dalam
keyakinanku dalam beragama. Namun, diperbolehkan oleh akal fikirku. Agama hanya
pelengkap identitasku saja. Tak lebih. Toh aku memilih Islam sebab kedua orang
tuaku juga Islam.
Waktu semakin berlalu, namun tubuh tak
ingin berlalu dari tubuh Irsan. Kuingin ini berlangsung lama dan tak ada yang memisahkan
kami berdua pagi ini. Begitupun dengan yang Irsan rasakan, ia tidak ingin
melepaskan pelukannya dariku dan ingin selalu bersamaku pagi ini. Kulihat bola
mata Irsan berbinar kala kami telah menyelesaikan hasrat kami. Kami terus
berpelukan dalam cinta tulus yang Irsan persembahkan pada hubungan kami. Namun
bagiku tidak sebab cintaku hanya untuk laki-laki yang telah menolong beberapa
waktu yang lalu.
Sejurus kemudia benak fikirku berputar
dan menerawang jauh atas harapan jika seandainya saja Irsan ini adalah
laki-laki yang telah menolongku maka betapa bahagianya diriku. Namun aku harus
realistik bahwa ia bukanlah laki-laki itu namun ia adalah Irsan.
“Terima kasih Za,” bisik Irsan di
telingaku dengan lembut. Aku hanya tersenyum.
“Biarkan kebersamaan kita ini berlangsung
lama. Jangan kau lepaskan tangamu dariku Za.” Pintanya seiring dengan kecupan
mesra yang ia layangkan pada keningku.
***
BERSAMBUNG ...
Comments
Post a Comment