Hidayah di Kaki Langit (Bag. 8)


Berkubang Dengan Maksiat
S
enja kita berganti malam. Lembayu kerinduan telah terpancar melalui sinar rembulan yang menutupi terangnya sang surya. Sudah lama kini aku hidup bersama dengan Irsan sebagai simpanannya namun tak pernah sekalipun Irsan meneyentuhku. Kami hidup layaknya suami istri namun tak pernah sekali pun kami melakukan hubungan suami istri melainkan kamu layaknya kakak beradik yang hidup ditinggal pergi oleh kedua orang tua kami. Pernah suatu ketika aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini. Hubungan kami berdua. Namun, dengan lembut Irsan membuatku bungkam.
“Tak perlu kau bertanya padaku tentang hubungan ini Iza. Tentang mengapa sampai saat ini aku tidak pernah sekalipun menyentuhmu. Aku bukannya tidak bergairah denganmu namun aku tahan sebab selama kebersamaan kita aku selalu menganggapmu adik ku. Dengan begitu aku bisa menahan nafsu untukku muarakan padamu. Aku tidak ingin melakukannya dengan kesenanganku sementara engkau menangis dalam senyummu. Aku ingin melakukannya kelak dengan cinta. Melakukannya sebab kita sama-sama sadar dan suka. Itulah yang kuinginkan Za.” Paparnya panjang lebar membuatku bungkam kala itu yang dilingkupi rasa kagum pada sosok laki-laki sepertinya untuk yang kedua kali. Pertama kepada laki-laki yang telah menolongku yang sampai hari ini aku tidak tahu siapa namanya. Dan yang kedua adalah Irsan. Irsan yang telah menjadikanku simpanannya. Namun, semua itu membuat bahagia sebab dengan begini aku tidak pernah lagi menjajahkan tubuh di tempat dunia malam yang selama ini kulakukan.
“Mulai malam ini, kamu tidak perlu lagi bekerja dalam dunia malammu. Tidak perlu kau pakai tubuhmu lagi untuk laki-laki lain hanya untuk mendapatkan lembaran-lembaran rupiah. Mulai malam ini kamu menjadi tanggunganku dan semua kebutuhanmu menjadi kewajibanku untuk aku penuhi.” Ujarnya saat itu. Saat di mana aku kembali menginap di hotel yang ia sewa untuk kami berdua.
Hari demi hari kulalui bersamanya dengan penuh canda dan tawa tanpa sedikitpun ada kesedihan yang menghiasi. Namun, yang aku herankan pada diriku sampai saat ini aku tidak pernah menemukan setitik cinta untuk Irsan. Melainkan cintaku ini hanya untuk dia seorang; laki-laki yang telah menolongku kala itu. Tapi semua itu tidak masalah bagiku sebab Irsan tak menuntut padaku untuk mencintainya. Ia hanya ingin aku menemaninya. Menemaninya membelah kesepian dan kesunyian yang ia rasa.
Malam semakin syahdu. Aku menyetel TV untuk memanjakan diriku dengan duduk berselonjoran di atas sofa empuk berwarna krem. Aku duduk bersantai sendiri sambil menunggu Irsan yang belum pulang dari kantor kerjanya. Sesekali aku melirik jam tangan bening yang aku kenakan di tangan kananku.
“Sudah larut malam,” bisikku saat melihat angka jarum jam memang telah menunjukkan waktu yang larut. Ada kerinduan yang aku rasakan pada Irsan sebab baru malam ini ia terlambat pulang. Ada kekhawatiran yang aku rasakan. Aku menuju jendela kamar hotel dan kusaksikan kota malam ini begitu indah. Sangat indah dan kusaksikan semua ini dari lantai 3. Namun, jalanan mulai lengah. Namun itu wajar sebab telah larut malam.
“Kenapa Irsan belum datang juga?” tanyaku pada diriku sendiri yang masih mengarahkan pandanganku jauh ke gedung yang menjulang tinggi seakan ingin menembus petala langit. Aku mondar-mandir kemudian duduk berpangku tangan di atas sofa tempat aku duduk pertama kalinya. remote TV dari tadi aku pencet hingga tak ada satupun siaran TV yang aku lihat dengan jelas. Aku semakin khawatir namun aku tidak bisa berbuat apa-apa.
***
Isbullah terjaga dari tidurnya dan bersegera untuk melaksanakan Tahajjud di sepertiga malam yang masih tersisa. Ada bekas pukulan yang terlihat tepat di kening sebelah kirinya. Itulah bekas peristiwa yang terjadi di lorong waktu lalu saat ia mendapat hantaman puluhan pukulan dari Lukman atas permintaan Riri. Namun, Isbullah tak sedikitpun mengerti dan tak tahu sama sekali mengapai Lukman melakukan hal itu padanya. Ramdan saat itu ingin memprosesnya secara hukum dengan mengajukan laporan di kepolisian atas tindakan penganiyaan. Namun, Isbullah melarangnya dan mengikhlaskan semuanya. Tapi Ramdan tetap ngotok, namun Isbullah tetap melarangnya dan menjelaskan alasannya pada Ramdan sehingga ia luluh dengan penjelasan dari Isbullah.
“Sudahlah Dan, kita tak perlu memprosesnya secara hukum. Masalahnya tambah rumit. Aku tidak apa-apa kok, insya Allah aku sudah ikhlas sebab dengan seperti ini Allah akan meningkatkan kadar ke-imananku dan akan meleburkan dosa-dosa yang telah aku lakukan selama ini. Tidak kah kamu pernah mendengarkan Rasullullah manusia Agung budi pekertinya bersabda bahwa tidaklah seorang hamba di berikan ujian melainkan Allah menghapuskan dosa-dosanya. Aku ingin Allah menjadikan peristiwa yang aku alami ini adalah kafarat bagiku. Aku ingin belajar mencintai Allah dengan selalu ikhlas dengan ketentuan-Nya. Aku ingin belajar dekat dengan Allah dengan selalu bersabar atas apa yang Dia timpahkan padaku. Aku akan jadikan peristiwa ini sebuah pelajaran yang harus aku petik ibrahnya Dan. Insya Allah semoga Allah selalu menjaga hatiku untuk ikhlas dan menanamkan benih-benih kesabaran dalam hatiku sebagai hamba-Nya yang lemah.” Jelas Isbullah kala itu.
Isbullah telah mengelar sajadah panjangnya dan memulai pengadiannya pada Rabb-nya. Ia meleburkan semua fikirannya hanya pada Allah hingga tak ada lagi ingatan selain tentang-Nya. Sementara diwaktu yang sama di hotel jalan Yos Sudarso aku masih menunggu Irsan pulang sambil terus berbaring di atas sofa.
Tepat adzan subuh terdengar dari menara masjid, Irsan membuka pintu kamar hotel. Aku merasa bahagia sebab laki-laki yang aku tunggu telah datang.
“Ke mana aja San? Kok baru pulang?” tanyaku sambil mengambil tas kantornya yang ada di tangannya. Ia tersenyum padaku sambil membuka dasi yang masih terpasang di bawah lehernya.
“Tadi ada meeting dengan klain baru Za, makanya aku pulangnya lambat. Kamu sudah makan Za?”
“Belum San, sebab aku menunggumu untuk makan bersama. Aku rindu denganmu untuk makan bersama lagi San.” Jawabku sambil menatap bola mata Irsan. Begitupun dengan Irsan sehingga pandangan kami bertemu.
“San,” panggilku padanya sambil mendekat dengannya.
“Iya Iza?” suaranya sambil terus memandangiku. Kulihat matanya berbinar. Dan aku melempar senyum padanya.
“Iza, boleh aku meminta sesuatu padamu?” pintanya sambil memegang tanganku. Aku hanya memberikan seulas senyumku dan membuatnya mengerti.
“Aku ingin melakukannya pagi ini bersamamu. Aku ingin kita melakukannya untuk yang pertama kalinya Za. Namun aku tidak akan memaksamu. Aku hanya akan melakukannya jika kamu pun begitu. Seperti kataku sebelumnya. Bolehkah?” pintanya sekali lagi. Aku hanya mampu menatap matanya kembali tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Aku ingin melakukannya dengan sadar dan atas dasar suka sama suka. Aku ingin melewati percintaan ini dengan bahagia Za tanpa harus menyayat hati dan mengorbankan perasaanmu. Mungkin setelah ini aku tidak akan memintanya. Aku berjanji pada diriku bahwa hanya kali ini. Dan sekali saja ini aku ingin menikmatinya dan bercumbu denganmu dengan cinta yang tulus dariku namun aku tidak akan memaksamu untuk memberikan cintamu untukku. Hanya saja kita melakukannya dengan sadar dan suka. Itu saja pintaku Za.” Aku memperbaiki posisi dudukku dan memegang tangan Irsan sambil berbisik lirih.
“Aku siap San. Aku akan melakukannya sesuai dengan yang kau kehendaki. Aku juga tak mengapa jika ini kita lakukan berkali-kali. Aku tidak apa-apa.” Jawabku pendek sambil mencium tangannya.
“Tidak Za, hanya kali ini. Aku janji pada diriku dan kuingin engkaupun janji pada dirimu untuk melakukannya hanya kali ini saja.” Tutur Irsan dengan mantap sambil menatapku dengan tajam. Aku meng-iyakan dan menyandarkan tubuhku di depan dadanya. Kemudian kamipun melakukannya. Melakukan dosa terindah menurut kami berdua pada dasar suka sama suka dengan penuh kesadaran. Dosa terindah yang membuat dadaku berdegup lebih kencang dan semua rasaku kuleburkan pada dirinya. Namun dengan sadarnya, entah dari mana awalnya dan dari mana datangnya, hatiku berbisik lembut.
“Berkubang dengan maksiat.” Yah aku betulkan bisikkan hatiku sebab aku memang telah berkubang dengan maksiat. Berkubang dengan cukup lama dan tak kenal lagi mana dosa dan mana yang bukan. Namun pagi ini telah terbukti bahwa aku kembali berkubang dengan maksiat. Maksiat dosa terindah yang kami lakukan seiring dengan ranjakan mentari. Semua hasratku kupadukan pada Irsan dan membuat hatiku berbunga-bunga hingga aku bisa menghirup udara surga duniawi dan hatiku ikut mendendangkan kidung-kidung cinta. Meski ini adalah cinta terlarang yang tak diperbolehkan dalam keyakinanku dalam beragama. Namun, diperbolehkan oleh akal fikirku. Agama hanya pelengkap identitasku saja. Tak lebih. Toh aku memilih Islam sebab kedua orang tuaku juga Islam.
Waktu semakin berlalu, namun tubuh tak ingin berlalu dari tubuh Irsan. Kuingin ini berlangsung lama dan tak ada yang memisahkan kami berdua pagi ini. Begitupun dengan yang Irsan rasakan, ia tidak ingin melepaskan pelukannya dariku dan ingin selalu bersamaku pagi ini. Kulihat bola mata Irsan berbinar kala kami telah menyelesaikan hasrat kami. Kami terus berpelukan dalam cinta tulus yang Irsan persembahkan pada hubungan kami. Namun bagiku tidak sebab cintaku hanya untuk laki-laki yang telah menolong beberapa waktu yang lalu.
Sejurus kemudia benak fikirku berputar dan menerawang jauh atas harapan jika seandainya saja Irsan ini adalah laki-laki yang telah menolongku maka betapa bahagianya diriku. Namun aku harus realistik bahwa ia bukanlah laki-laki itu namun ia adalah Irsan.
“Terima kasih Za,” bisik Irsan di telingaku dengan lembut. Aku hanya tersenyum.
“Biarkan kebersamaan kita ini berlangsung lama. Jangan kau lepaskan tangamu dariku Za.” Pintanya seiring dengan kecupan mesra yang ia layangkan pada keningku.
***
BERSAMBUNG ...

Comments