Hidayah di Kaki Langit (Bag. 9)


Aku Terlalu Hina
A
ku telah melakukannya dengan Irsan pagi itu dan kurasa Irsan ternyata serius denganku. Ia tidak menghiraukan diriku yang seorang Pekerja Seks Komersial. Baginya itu tak penting sebab cintanya lebih dari itu semua padaku. Aku sangat senang dengan kejujuran Irsan terhadap perasaannya padaku, namun dilain sisi aku sangat sedih sebab aku sadar siapa diriku. Aku bukanlah orang yang tepat untuknya. Ia terlalu baik dan tidk sepantasnya aku yang menjadi pendamping hidupnya sebab aku terlalu hina. Aku terlalu hina untuk menjadi seorang perempuan dan terlalu hina untuk menjadi istrinya. Apalagi saat kutahu Irsan berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya. Ayah dan ibunya adalah orang terpandang di kota ini. Aku tidak ingin aku menjadi sebab hancurnya keluarga Irsan karena kutahu kedua orang tuanya pasti tidak akan setuju dengan rencana Irsan yang akan menikahiku. Ini akan menjadi aib bagi keluarganya dan menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan keluarga besarnya. Apa kata orang-orang jika mereka tahu kalau seorang anak bangsawa yang terhormat dan kaya raya menikah dengan seorang perempuan Pekerja Seks Komersial. Aku tidak mampu untuk menbayang apa yang akan terjadi jika ini benar-benar berlaku pada kami.
Aku berdiam diri beberapa hari dalam rumah kontrakanku dan tidak pernah lagi kembali untuk ke hotel. Irsan berkali-kali membujukku kembali bersama namun aku memberikan alasan. Alasan untuk memberiku ruang untuk sendiri dulu. Aku ingin sendiri memikirkan tawaran dari Irsan. Aku ingin memutuskan semuanya dengan fikiran jernih sebab aku tak ingin sesuatu yang tidak kami inginkan terjadi setelahnya.
“Apa yang menarik dariku? Bukankah aku ini hanya seorang PSK yang dianggap sebagai sampah masyarakat? Aku hanya dipandang sebelah mata, tapi kenapa kamu ingin menjadikan aku sebagai istrimu? Sudah jelaskah keputusanmu? Sudah mantapkah keyakinanmu? Bagaimana dengan sikap orang tuamu jika mereka tahu bahwa aku hanyalah perempuan hina yang tak lebih dari sampah busuk dan bahkan untuk didaur ulang saja tidak akan bermanfaat?” lontaran pertanyaan itu terus menghujamiku. Aku tak tahu harus menjawabnya sebab semua ini bukanlah kehendak dan inginku. Semua ini inginnya, aku hanya tidak ingin menjadi duri dalam keluarga Irsan kelak jika kami telah menikah dengan statusku yang sekarang.
Aku berpangku tangan menerawang masa depan yang aku jalani bersama Irsan jika aku benar-benar menjadi istrinya. Namun, sekali lagi hatiku membatin untuk tidak menerimanya. Irsan terlalu baik bagiku dan tak pantas aku membalas kebaikannya selama ini dengan membuatnya menderita dan membiarkan rumah tangganya menjadi keping-keping yang berantakan tanpa bisa disatukan lagi. Aku harus berbesar hati dan bisa memberikan pengertian pada Irsan bahwa banyak perempuan di luar sana yang lebih baik untuknya.
Secepat kilat aku menuju hotel tempat Irsan berada. Aku harus menyampaikannya lebih cepat supaya Irsan tidak berharap banyak padaku. Ia tidak boleh menungguku dan menggantungkan harapannya atas sikapku dan jawabanku yang terlalu lama ia tunggu.
“Irsan,” panggilku kala memasuki ruang kamar. Dan kudapati Irsan duduk sambil menatap ke luar jendela.
“Irsan,” panggilku sekali lagi dan menghampiri Irsan yang tak memandangku. Mungkin saja ia tidak mendengarkan panggilanku sebab terlalu serius menikmati pemandangan kota dari balik jendela. Aku menyerbunya dengan pelukan yang membuat ia kaget.
“Iza. Sejak kapan kamu berada di sini?” tuturnya dengan raut wajah yang keheranan.
“Sejak kamu menikmati pemandangan kota dari balik jendela dan tak memperdulikan aku.” Jawabku dengan sedikit merajuk manja padanya. Ia terlihat gemes dengan tingkahku dan mencubit pipiku. Aku kemudian duduk di atas pahanya dan menikmati pemandangan dari balik jendela bersama dengannya. Tak ada kata yang terlintas untuk beberapa saat dari kami. Kami hanya sibuk menikmatinya dengan cara kami masing-masing.
“Iza,” buka suara Irsan.
“Iya San.”
“Apakah kamu rindu denganku beberapa hari ini?” tuturnya. Aku hanya menganggukkan kepala.
“Selama beberapa hari ini aku sangat merindukanmu Za. Hampa rasanya hidup ini sejak engkau meninggalkanku sendiri. Tak ada hari yang kulewatkan tanpa membayang tutur katamu, wajahmu, manjamu, dan semua yang kamu miliki. Jangan pergi lagi Za, tetaplah bersamaku.” Pintanya meyakinkanku. Aku terdiam. Aku memikirkan bagaimana caraku menolak lamaran yang Irsan utarakan padaku beberapa hari yang lalu. Aku takut akan membuat Irsan kecewa jika aku berterus terang bahwa aku tidak akan menerima lamaran darinya. Aku bingung.
“Za, bagaimana dengan jawabannmu atas lamaranku beberapa hari yang lalu?” aku tersentak dengan pertanyaan Irsan, aku tidak tahu harus berkata apa dan harus memulainya dari mana. Aku tidak ingin membuatnya kecewa dan bersedih. Ia terlalu baik bagiku dan tak rela hati ini melakukannya pada Irsan. Aku memilih bungkan dan pura-pura tidak mendengarnnya. Aku beranjak darinya dan berjalan mengjauhinya.
“Kamu sudah makan San?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan yang membahas tentang lamarannya.
“Sudah Za.” Katanya singkat.
“Bagaiman Za dengan keputusanmu?” lanjutnya dan tidak membuat rencanaku mengalihkan pembahasan tentang lamarannya. Aku bingung dibuatnya dan tak harus berkata apa. Aku mengigit bibirku sendiri mencoba menjalarkan sikap berani untuk berkata jujur padanya.
“Kenapa Za? Kenapa kamu tidak menjawabnya?” ia kembali menghantamku dengan hujaman pertanyaan dengan raut muka yang serius.
“Kamu tidak mencintaiku Za? Kamu tidak ingin membangun rumah tangga bersamaku? Apa kekuranganku? Adakah laki-laki yang engkau cinta? Bicara Za. Jangan membuatku tersiksa dengan sikapmu yang bungkam.” Ia menarik tanganku dan menatap bola mataku. Namun, aku tak kuasa untuk menatap bola matanya yang memancarkan cinta dan kasih sayang yang tulus darinya.
“Iza,” panggilnya untuk meyakinkanku.
“Irsan, maafkan aku.” Itulah kata yang aku lontarkan pertama kali pada Irsan.
“Maafkan aku San, sebab tak bisa menjadi istrimu. Bukan sebab engkau punya kekurangan namun aku benar-benar tak bisa. Bagiku kamu adalah laki-laki yang sempurna. Semua telah engkau miliki, aku yakin ada banyak perempuan di luar sana yang menunggumu dan layak untuk kau jadika istrimu dibanding dengan diriku. Kamu realistik San, siapa aku dan siapa kamu. Kita jauh berbeda San bagaikan langit dan bumi. Jarak keturunan kita berbeda San seperti antara timur dan laut. Aku ini hanyalah perempuan sampah di mata masyarakat sementara kamu adalah anak bangsawan yang kaya raya. Hadirku dalam keluargamu dengan menjadi istrimu akan menjadikan aib bagi keluarga besarmu. Kamu fikir San, bagaimana reaksi kedua orang tuamu jika mengetahui anaknya menikah dengan seorang Pekerja Seks Komersial? Fikirkan itu San. Aku hanya menjadi duri yang akan menyebabkan keluarga kalian menjadi kepingan yang hancur terluluh lantahkan oleh sikap egomu. Fikirkan itu semua San.” Aku menjelaskan semuanya pada Irsan dengan air mata yang terus mengalir dan nafas yang sesak.
“Aku tidak peduli dengan semua itu Za. Bagiku memilihmu menjadi istriku itu sudah cukup bagiku untuk menjalani kehidupan ini. Aku tak butuh lagi yang lain. Aku tidak akan memperdulikan anggapan miring orang lain dengan kebersamaan kita sebab aku dan kaulah yang akan menjalani semua ini.”
“Tidak San, aku akan tetap dengan keputusanku. Aku yakin kau akan mendapatkan istri yang jauh lebih baik dari aku. Aku ini terlalu hina untukmu San. Sudah terlalu banyak laki-laki yang telah menjamah diriku. Aku sendiri jijik dengan diriku San, jadi kumohon mengertilah dan carilah wanita yang sepantas denganmu. Menjadi simpananmu saja itu lebih dari cukup San. Aku sangat bersyukur bisa menjadi simpananmu sebab itulah hari-hari terindah yang telah kulewati selama keberadaanku di kota ini.” Ujarku untuk meyakinkan Irsan. Kulihat ia hanya terus menatapku dengan dalam.
“San, jujur aku sangat ingin bersamamu namun takdir tidak akan berpihak pada kita. Ada tembok penghalang yang menjadikan jalan kita terputus. Aku akan menjalani hidupku dengan jalan yang telah kupilih dan kuingin kau tetaplah menjadi kakak buatku yang selalu kau dengar curahan hatiku. Tetaplah menjadi seperti yang aku kenal selama ini San.” Aku terisak tangis dalam pelukan Irsan.
“Za,” suara Irsan memanggil namaku dengan serak. Kulihat matanya sayup sementara mata telah sembab pula. Aku terus menangis dalam pelukannya.
“Aku tidak akan memaksamu Za, aku akan menghargai keputusan yang kau buat. Aku tidak akan mengedepankan egoku untuk kepentinganku sendiri namun harus melihatmu tersiksa. Aku tidak sanggup melakukan itu padamu Za. Aku sangat merasa bersalah jika aku membuatmu menitihkan air mata dalam kesedihan. Aku tidak sanggup Za. Tetaplah dengan keputusanmu.” Kulihat Irsan sudah mampu menguasai emosinya. Ia menyeka air mataku. Aku terharu dengan kebesaran hati Irsan. Dan berharap semoga kelak ia dipertemukan dengan perempuan yang jauh lebih baik dariku.
“Terima kasih San. Terima kasih. Terima kasih atas pengertianmu padaku. Aku sangat bersyukur telah mengukir jejak dalam harimu. Kelak jika kau telah menemukan perempuan untuk kau jadikan belahan jiwa, jangan pernah melupakan aku. Jadikanlah aku sebagai adikmu yang selalu merindukan dirimu untuk kau sekak air matanya dan tempat bermanja denganmu.” Pintaku pada Irsan dalam tangis haruku.
“Iya Za, aku janji tidak akan melupakanmu. Aku janji tidak akan meninggalkanmu sendiri. Aku akan selalu ada menjadi sandaran bagimu saat kamu benar-benar sangat membutuhkan sandaran. Akan akan selalu ada untukmu saat kamu rapuh untuk tetap kuat menjalani hidup. Aku akan selalu hadir Za. Selalu dekat di sampingmu.” Bisik Irsan meyakinkanku.
“Terima kasih San.” Ucapku lirih.
***
 BERSAMBUNG ...

Comments