Hidayah di Kaki Langit (Bag. 12)


Tertatih
P
emakaman Riri telah usai. Orang-orang dan keluarga yang mengantar telah meninggalkannya dalam kesendiriannya. Di alam baru untuknya. Alam tak lagi sama denganku. Kami mengiringi kepergian Riri dengan linangan air mata. Namun, Lukman adalah orang yang sangat tidak rela atas kepergian Riri. Aku dan Andri sudah mencoba menenangkannya dan menghiburnya agar ia menerima semuanya. Namun, hasilnya nihil. Terlalu berat kepergian Riri yang Lukman rasakan sehingga ia tak lagi memikirkan dirinya dan memakai akalnya untuk berfikir bahwa masih ada hidup yang harus ia jalani esok dan sampai ia kembali bertemu dengan Riri di alam sana.
Lukman masih tersungkur di depan kempulan tanah merah yang mengubur jasad Riri. Andri telah kembali dan hanya kami berdua yang masih tersisa di pekuburan tua ini. Pekuburan yang sudah beratus tahun usianya. Rumput ilalang tumbuh subur di pekarangan ini bersanding dengan bunga-bunga kamboja. Aku memegang Lukman mencoba kembali menenangkannya.
“Sudah Man, tak ada gunanya kau tangisi lagi. Riri tidak akan kembali lagi meskipun air matamu habis untuk menangisnya. Tataplah masa depan sebab masih ada hidup yang harus kita jalani. Bukan hanya hari ini saja. Jangan kau terus menerus tersungkur dalam kesedihan yang mendalam hingga mematikan kesadaranmu. Ayo kita pulang.” Ajakku padanya. Namun apa yang aku lakukan sia-sia sebab Lukman tak memperdulikannya sedikitpun.
“Menangisinya tak akan merubah semua menjadi seperti sedia kala. Tak ada yang terulang sebab waktu akan terus berlalu tanpa pernah minta pamit sama kita. Iya akan berlalu dengan keadaan kita apa adanya. Siap atau tidak siapkah diri kita, ia akan terus berlalu. Relakanlah kepergiannya dan buatlah Riri bangga denganmu dengan melakukan sesuatu untuknya. Mungkin dengan merelakan kepergiannya Riri akan bangga sebab kau sudah mampu mengelolah emosimu yang sedang teraduk-aduk atas kehilangan dirinya.” Bujukku sekali lagi. Namun, Lukman membentakku dan memintaku untuk meninggalkannya sendiri.
“Menjauhlah dari Za. Aku ingin di sini menemani Riri. Aku tidak butuh kata-katamu. Biarku aku di sini bersama dengannya. Aku minta sekali lagi tinggalkan aku. Tinggalkan aku seorang.” Bentaknya padaku. Aku memenuhi permintaannya sebab aku tak mau Lukman semakin stress dengan kehadiranku di sampingnya.
Aku meninggalkan Lukman sendiri. Meleawti jalanan sempit antara kuburan yang satu dengan yang lainnya sebagai jarak pemisaha. Sebelum aku berlalu, aku membalikkan tubuhku dan kulihat Lukman berbicara dengan batu nisan Riri. Aku prihatin dengan Lukman. Aku khawatir ia tidak bisa menguasai emosinya sehingga membuatnya tak bisa berfikir jernih.
***
Rinai-rinai hujan mengaburkan pandangku yang melihat ke luar dari jendela kamarku. Bumi kembali basah setelah kering gersang oleh panasnya hujaman sang surya. Kota mulai berselimut putih yang menghalangi pandangan. Sementara rintihan hujan semakin derasnya bersorak dengan gemuruh guntur dan kilatan petir yang menyambar. Aku merasa takut dengan pemandangan ini. Aku takut akan gelegar guntur yang seakan menelan bumi sementara kilatan petir seakan ingin membelah seantero langit menjadi keping-keping tak berguna yang berhamburan tanpa makna.
Aku teringat pada Lukman.
“Apakah Lukman masih di perkuburan?” tanyaku cemas pada diriku sendiri. Aku menerawang bagaimana kalau Lukman benar-benar masih di perkuburan. Berarti ia sudah sembilan jam di sana. Aku melangkah dengan cepat dan menerobos hujan menuju perkuburan. Aku tidak lagi memperdulikan guyuran hujan yang membasahiku. Aku hanya memikirkan keadaan Lukman. Aku khawatir terjadi sesuatu yang mengerikan terjadi padanya. Ia sedang dibalut emosi dengan hati yang tersayat.
Aku mengatur nafas yang tak beratura kala berada pada ambang pintu perkuburan. Kulihat Lukman masih duduk tersungkur di depan kuburan Riri dengan wajah yang pucat. Sangat pucat. Aku berlari menujunya dan menyadarkannya bahwa ini sudah tak wajar baginya,
“Astaga Lukman, apa yang kau lakukan?” imbuhku penuh iba atas apa yang terjadi pada Lukman.
Tidak mengapa Za. Aku ingin menemani Riri dalam kesendiriannya.” Ucapnya lirih dengan bibir yang bergetar. Ia tampak kedinginan dan sebagian tubuhnya mulai kaku. Aku memeluknya untuk menyalurkan hawa panas dari dalam tubuhku.
“Sudahlah Man, tidak ada gunanya kamu berlaku seperti ini. Ini hanya akan membuatmu menderita dan aku yakin Riri lebih menderita jika tahu kamu bersikap seperti ini. Gunakan fikiranmu dengan jernih, bahwa Riri telah tiada dan tak akan lagi kembali ke dunia ini. Bersifay dewasalah menghadapi semua ini. Jangan kau larut dalam kesedihan yang hanya akan membuatmu tertatih menghadapi hidup untuk hari esok. Belajarlah untuk menerima semua ini.” Imbuhku dengan tegas pada Lukman. Kulirik Lukman tak mampu lagi berucap. Ia kedinginan dan tubuhnya kaku. Aku memopongnya mengantarnya pulang. Ia berjalah tertatih sebab aliran darah yang kaku akibat kedinginan oleh siraman hujan yang begitu deras. Namun, di luar dari itu semua. Lukman lebih tertatih menjalani hidup sebab kehilangan Riri. Riri sahabat kami semua. Aku mengantar Lukman ke rumah sakit sebab tubuhnya memang harus memerlukan perawatan dari tenaga medis.
***
“Bagaiman keadaanmu Man?” tanyaku pada Lukman yang terbaring di atas bangsal sambil terdiam membisu. Sudah dua hari ia berada dan dirawat di rumah sakit dikarena oleh dirinya sendiri.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku sekali lagi. Kulihat ia hanya tersenyum dan membuatku merasa senang sebab ia kembali sadar. Berbeda dengan sikapnya dua hari yang lalu di perkuburan di mana Riri di makamkan.
Kamu sudah makan? Aku bawa makanan kesukaanmu. Kita maka bareng yah?” ajakku sambil membuka bungkusan yang aku bawa. Ia menerima tawaranku dan akhirnya kami makan berdua. Kulihat wajahnya masih menguratkan kesedihan namun, tak seperti sebelumnya.
“Za, aku rindu dengan Riri.” Imbuhnya.
“Aku juga Man, tapi kita harus menerima kenyataan bahwa Riri telah pergi meninggalkan kita untuk selamanya.” Ucapku untuk menguatkan Lukman.
“Aku menyesal Za.” Lanjutnya. Aku tidak mengerti dengan kata menyesal yang Lukman lontarkan.
“mungkinkah Lukman menyesal atas sikapnya dua hari yang lalu di area perkuburan? Atau menyesal telah membuatku repot dengan sikapnya?” bisikku mencoba menerawang.
“Aku menyesal dengan diriku sendiri yang telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mengutarakan maksudku pada Riri.” Lanjutkan tampa aku minta untuk menjelaskan kata menyesal yang dia maksud. Namun, aku semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Lukman. Aku memilih diam dan mendengarkan penuturannya.
“Hari itu, aku ingin mengutarakan maksudku pada Riri bahwa aku akan melamarnya. Beberapa hari sebelum datangnya hai itu, aku membahas masalah lamaranku dengan Riri kepada orang tuaku. Aku menjelaskan siapa Riri sebenarnya. Bagaimana keluarganya dan di mana kami bertemu. Orang tuaku setuju dengan keinginanku yang akan melamar Riri. Maka dengan penuh kebahagian yang menyelimuti ruang hatiku, aku mendatangi Riri di kampusnya dengan tujuan akan menyampaikan prihalku bahwa aku akan melamarnya dan menjadikannya calon istriku. Namun, saat aku duduk berdua dengannya dan menatap matanya yang berbinar aku tak mampu dan tak punya keberanian untuk mengutarakannya. Aku tidak memberitahu Riri. Aku bermaksud mengundangnya makan malam bersama dan saat itulah akan akan melamarnya. Namun, takdir berkata lain. Riri telah pergi meninggalkanku sebelum aku menyampaikan maksudku. Aku merasa bersalah pada diriku sendiri dan tak bisa memaafkan diriku sendiri Za. Aku sangat menyesal dan sekarang aku seperti tertatih menatap dan menghadapi kehidupan ini.” Tuturnya sambil tak bisa membendung kristal-kristal bening yang terus berjatuhan dan membasahi bantal yang ada di pangkuannya.
***
 BERSAMBUNG ....

Comments