Hidayah di Kaki Langit (Bag. 13-14)


13
Aku Tak Menginginkanmu
S
udah beberapa kali aku bolak-balik dari kamar mandi. Aku mual-mual namun tak ada sesuatu yang keluar dari mulutku. Badanku lemas dan aku sangat sensitif dengan kata-kata atau teguran dari orang lain. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku namun, perutku terasa teraduk sehingga aku sedikit pusing. Aku memilih berbaring dan berupaya untuk menutup kedua mataku sehingga aku mampu beristrahat namun sia-sia saja. Selang beberapa menit saja aku kembali merasakan yang sama, terasa mual. Aku menuju dapur yang tak begitu luas namun bersih sebab aku selalu merawatnya dengan baik. Aku mengambil teh celup dan gula pasir putih yang ada dalam toples berencana untuk membuat segelas teh hangat mungkin dengan seperti itu aku mampu menghilangkan rasa mual yang terus menyiksaku.
Segelas teh hangat dengan asap yang masih mengempul telah tersaji di hadapanku. Aku meneguknya sedikit demi sedikit. Dan perlahan kubiarkan kelopk mata ini sayup-sayup dan akhirnya bisa pula tertidur. Sementra di sudut tempat lain tepaptnya di dalam ruangan rumah sakit di atas bangsal Lukman masih terbaring namun ia sudah mulai membaik. Lukman sudah mampu merela kepegian belaha jiwanya, Riri meskipun tak keseluruhan. Perjalanan waktu terus menerus mengikis kesedihannya hingga dengan tertatih ia mulai mampu menatap masa depan hidupnya yang akan segera ia jalani. Ia membenarkan apa yang telah Iza katakan padanya bahwa masih ada hari esok yang harus ia jalani dan tak akan membuatnya bisa melaluinya jika ia terus-menerus berada pada situasi yang menguras emosi tanpa bisa ia kendalikan.
Dengan menyelonjorkan kakinya ia menikmati suguhan siaran dari balik laya TV yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. Ia sebenarya menunggu kedatangan orang tuanya yang akan menjemputnya hari ini. Entah apa yang telah direncanaka ayah dan ibunya pada Lukman sebab dari percakapan mereka melalui telpon beberapa jam yang lalu, ayahnya mengataka bahwa ia akan mendapatkan suprise dari ayah yang selalu menyayanginya. Sedikit rasa penasaran mendera pada dirinya namun, ia tepis tak ingin memikirkannya. Ia fokuskan semua pikirannya untuk menatap masa depannya dan meyakinkan dirinya bahwa ia mampu bertahan dan berdiri meski ia telah kehilangan Riri untuk selamanya.
“Sudah baikan nak?” tanya ibu Lukman kala memasuki ruangan Lukman dirawat beberapa hari ini. Ia membawa bungkusan nasi untuk Lukman.
“Iya bu.”
“Ayah ke mana bu? Tidak datan bersama?” lanjut Lukman dengan pertanyaan.
“Ayahmu ada urusan mendadak dari kantor dan tidak bisa bersama ibu menjemput keluar dari rumah sakit. Tapi ayahmu janji setelah urusannya selesai ia akan segera menghampiri kita.” Papar ibunya sambil membuka bungkusan nasi yang ia bawa untuk Lukman.
“Kamu sudah makan nak? Ini ibu bawakan makanan kesukaanmu. Ibu tadi membelinya saat bersama ayahmu.” Terang ibu Lukman sambil menyodorkan makanan tersebut pada Lukman. Ia menerimanya dan segera menikmati makanan kesukaannya.
“Terima kasih bu.” Lukman menikmati makanannya sambil mengarahkan pandangan matanya pada layar TV. Sementara ibunya tengah mempersiapkan kepulangan Lukman dari rumah sakit.
“Ibu keluar dulu nak, ingin mengurus semua admistrasi dan pembayaran kamu selama di sini.” Pamit ibunya sambil berlalu dari hadapan Lukman. Ia hanya mempersilahkan ibunya keluar mengurus semua admistrasi dan biayanya sambil terus menikmati makanan kesukaanya.
“Atas nama Lukman sus, kamar yang di sebelah sana yang dirawat beberapa hari ini.” Ucap ibu Lukman kala berada pada ruang admistrasi.
“Tunggu yah bu, kami cek dulu.” Kata salah satu suster berparas cantik sambil memainkan jemarinya pada keyboard komputer yang ada dihadapnya. Ia dengan teliti melihat nama Lukman  dalam baris pasien yang dirawat beberapa hari yang lalu.
“Atas nama Lukman pasien yang masuk beberapa hari yang lalu, semua biayanya lima juta tujuh ratus lima puluh rupiah bu.” Kata suster tersebut sambil memperlihatkan rincian pembayar tersebut pada ibu Lukman. Ibu Lukman kemudian mengeluarkan beberapa lembaran uang seratus ribu yang telah ia siapkan untuk hal ini sebab ia tahu bahwa ruma sakit ini adalah rumah sakit dengan kualitas baik dan pasti juga akan memakan biaya yang banyak pula. Suster dengan ramah melakukan transaksi pembayaran dengan ibu Lukman.
“Terima kasih bu, semoga anak ibu kembali seperti semula dan kejadian tersebut tidak menimpa anak ibu untuk kedua kalinya.” Ucap suster tersebut dengan ramah.
“Sama-sama sus. Tapi apa maksud suster dengan ucapan tadi?” tanyanya cari tah.
“Kemarin waktu anak ibu pertama kali datang ke rumah sakit ini, wajahnya sangat pucat dengan pakaian yang basah bu. Bibirnya bergetar hebat akibat kedinginan yang mender dirinya sementara sekujur tubuhnya mulai kaku. Aku sendiri tak yakin anak ibu dapat diselamatkan sebab kondisinya. Namun, Tuhan punya kuasa di luar hamba-Nya.” Ibu Lukman mendengarkan dengan jelas pemaparan suster berparas cantik tersebut.
“Untunglah bu ada temannya yang bernama Iza cepat mengantarnya ke rumah sakit ini dengan memopong tubuhnya secara tertatih. Kalau Iza tidak cepat mungkin lain ceritanya bu.” Lanjut seorang suster lainnya. Ibu Lukman hanya setia mendengarkan papar demi papar yang berasal dari mulut suster tersebut. Namun, secara tak langsung dengan hanya ia bisikkan ia berterima kasih pada Tuhan atas kesempata yang diberikan kepada anaknya untuk melalui kondisinya yang kritis sesuai yang dikatakan oleh suster tersebut. Ia juga sangat berterima kasih sekali dengan Iza atas kesediaannya memopong tubuh anaknya. Meskipun ia tidak tahu siapa Iza tersebut.
***
Aku melemparkan Tespack  yang saja aku gunakan untuk memastikan kekhawatiranku. Dan ternyata kekhawatiran yang membuatku menjadi merasa takut kini terbukti. Aku rapuh melihat kenyataan yang berasal dari benda yang disebut Tespack tersebut. Alat yang aku gunakan untuk mengetahui apakah aku hamil atau tidak melalui pemeriksaan air seniku.
“Tidak mungkin. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” ibaku merintih pada diriku sendiri.
“Ini pasti salah. Alat Tespack  tersebut pasti rusak. Aku tidak mungkin hamil. Tidak......”aku terus merintih pada nasib diriku. Aku tidak percaya bahwa aku tengah mengandung.
“Tapi siapa bapak dari jabang bayi yang tengah aku kandung ini?” tanyaku pada diriku yang rapuh. Aku memutar memoriku dengan cepat. Aku mengingat semua laki-laki yang telah aku temani tidur bersama.
“Bukankah selama ini aku tidak pernah menikmatinya? Aku tidak pernah menemui titik nikmat tersebut dan selama ini kami selalu memakai pengaman saat melakukannya? Iya kami selalu memakai pengaman jadi ini tidak mungkin terjadi.” Hardikku pada diriku mencari tahu siapa yang berhak atas kandungan ini.
“Tapi pantaska aku mendapatkan laki-laki yang bertanggung jawab atas kandungan ini? Sebab aku sadar aku hanyalah seorang pelacur yang menjajahkan tubuhku untuk mendapatkan lembaran rupiah bukan mendapatkan kepuasan nafsu. Pantaska aku mendapatkan laki-laki? Siapakah kiranya yang akan bertanggung jawab atas jabang bayi yang ada dalam diriku ini?” semua pertanyaan terus berhamburan menusuk relung hatiku dan membuatku semakin rapuh tak tentu arah kemana akan kusandarkan diri ini.
“Kenapa kamu harus ada? Kenapa? Aku tidak menginginkanmu dan tak akan pernah menginginkanmu.” Aku memukul-mukul perutku sebab kumuak dengan penderitaan ini yang menjabahku dengan lembut. Aku merasa putus asa namun, di tengah putus asa yang mulai menghampiriku sebuah nama terlintas dalam benak fikirku.
“Irsan.” Ya aku ingat Irsan.
“Irsanlah yang harus bertanggung jawab atas jabang bayi yang ada dalam rahimku. Irsan lah laki-laki yang harus menjadi ayah dari anakku kelak. Aku sadar bahwa dengan Irsanlh aku melakukannya untuk pertama kalinya dengan perasaan suka sama suka tanpa menggunkan pengaman. Irsan lah laki-laki itu.” Di tengah rasa putus asa yang menderaku aku menemukan setitik cahaya atas kehampaan diriku. Aku menemukan titik terang meskipun hanya sedikit saja. Namun, itu sudah membuatku merasa tenang meskipun rasa rapuh dan tertatih lebih besar menyerbuku.
Aku membuat diriku kuat dan mencoba berdamai dengan kondisi dan diriku. Aku mencoba menerimanya bahwa ini adalah kesalahanku sendiri.
“Bukankah Irsan mencintaiku? Aku tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya sebab Irsan pasti menerimaku.” Aku meyakinkan diriku meskipun peyakinan diri yang kulakukan hanyalah terpaksa. Dibalik dari semua itu aku jujur. Aku tak menginginkannya. Sama sekali tak menginginkannya hadir dalam diriku dan kehidupanku esok.
Langit tanpa tiang penyangga itu masih berdiri kokoh tanpa ada tada kerapuhan padanya. Ia tegar dan tak bergeming dengan nasib manusia yang berada dibawanya. Ia tak tahu arti simpati dan empati. Langit tu hanya apatis dan tak mau tahu dengan urusan manusia. Ia tetap berdiam diri tak bergeming.
Kawanan burung terus membentuk formasi yang ia ciptakan sendiri. Terbang di angkasa raya tanpa penah mengenal lelah. Ia menikmati hidup yang ia jalani dengan bersahabat dengan takdir. Dan semua kehidupan inipun akan menjadi indah kala kita bersahabat dengan takdir. Menerima diri kita apa adanya dan menjalaninya sesuai dengan fikiran kita.
***


14
Tuhan Berikan Keadilan-Mu
T
ubuhku ambruk lemas pada dinding kamarku yang masih membisu. Ia seakan mengerti dengan keadaan yang kini tengah aku alami. Kabar berita yang baru saja kusaksikan dari layar TV chanel 2 membuat seluruh tubuhku kaku tak berdaya. Aku lunglai dengan nafas yang sesak di dada seakan tak percaya dengan yang aku dengar dan saksikan.
Kecelakaan pesawat Lion Air dua hari yang lalu, tak satupun penumpang dari pesawat tersebut selamat. Semua jasad penumpang telah dievakuasi dan dua penumpang pesawat tujuan kepulauan Riau terakhir ditemukan dalam pencarian evakuasi yang dilakukan oleh TIMSAR gabungan. Jasad tersebut bernama Irsan Ahmad dan Hafizh Isbullah. Demikian sekilas info dan nantikan kabar terkini satu jam mendatang.” Demikian berita mengabarkan dari TV Chanel 2.
“Ini tak mungkin terjadi. Ini tidak mungkin terjadi.” Ucapku dengan nafas sesak di dada.
“Irsan...Irsan, kenapa kau meninggalkanku sendiri. Kenapa San. Kenapa kau meninggalkanku sendiri sementara diriku tengah hamil. Aku telah mengandung darah dagingmu San. Aku harus bagaimana San.” Ibaku atas nasib diriku yang telah ditinggal oleh Irsan yang sedang mengandung anaknya. Atas apa yang telah kami lakukan beberapa bulan yang lalu. Aku merasa ketakutan atas apa yang akan menimpah diriku setelah kepergian dirinya.
“Bagaimana nasib anak yang tengah aku kadung ini? Siapakah yang akan bertanggung jawab? Sementara Irsan telah pergi meninggalku untuk selamanya. Bagaimana aku harus menghadapi cemohan dan gunjingan dari masyarakat serta teman-teman kampusku? Apalagi dengan ibu. Bagaimana kecewanya ibuku saat ia tahu bahwa aku hamil di luar nikah?” serbuan pertanyaan demi pertanyaan terus menghantuiku dan membuatku semakin tak berdaya.
“Tuhan, mengapa Engkau begitu kejam padaku? Tuhan, mengapa Engkau selalu membuatku menderita? Apa salahku Tuhan? Di mana keadilan-Mu? Di mana kasih sayang-Mu yang selalu dikoar-koarkan oleh da’i dan da’iyah itu di atas mimbar? Di mana Tuhan? Kalau memang Kau menyayangi hamba-hamba-Mu, kenapa kau perlakukan diriku seperti ini? Tuhan berikan keadilan-Mu?” aku terus mengugat Tuhan atas apa yang berlaku pada diriku. Aku meminta keadilan yang Dia janjikan pada hamba-Nya dan hari ini aku ingin menagihnya.
“Apakah sebab aku seorang pelacur sehingga Engkau memperlakukanku seperti ini Tuhan? Siapakah yang pantas dikatakan pelacur Tuhan? Aku yang menjajahkan tubuhku untuk mendapatkan lembaran rupiah sebab kondisi yang menuntunku seperti ini, atau perempuan-perempuan di luar sana yang menjajahkan tubuh pada laki-laki hanya untuk kepuasan nafsu? Siapa Tuhan? Siapakah yang pantas disebut sebagai pelacur? Aku atau perempuan seperti mereka? Katakan padaku Tuhan. Katakan.” Aku semakin mengugatnya tanpa ampun. Kukeluarkan semua perasaan yang mengganjal pada diriku dan kelemparkan semua pada Tuhan yang telah meninggalkanku selama ini.
“Tunjukkan keadilan yang Kau janjikan padaku yang kau Kalamkan  diatas lembaran suci bernama Al-Qur’an. Tunjukkan padaku saat ini juga. Tak pernah sedikitpun kau berikan keadilan-Mu padaku Tuhan. Kau telah mengambil semuanya dan membiarkanku sendiri dalam kehampaan hidup yang tak bertepi.”
Aku berderai air mata mengingat kembali berita tersebut. Fikiranku terputar tak sama sekali mengerti dan percaya bahwa laki-laki yang telah aku saayang dan cintai semua telah pergi. Irsan laki-laki yang sayang sebagai kakak telah meninggalkanku dalam kecelakaan pesawat tersebut bersamaan dengan laki-laki yang kubukakan cinta pada hatiku yang selama ini sangat kurindukan dan kukumpulkan keberanian untuk mengutarakan padanya. Isbullah. Laki-laki yang aku cinta. Hatiku remuk  dan berantakan tanpa arah. Dunia seakan tak lagi di tempatnya. Ia tidak berporos pada porosannya sementara matahari tak lagi melintas pada lintasannya semua telah menjauh dan pergi dariku. Semua pergi meninggalkanku sendiri. Dalam kehampaan yang tak bertepi. Aku tak mampu mengendalikan diri dan emosiku sehingga aku tak menyandarkan tubuhku pada dinding berwarna putih tanpa noda dengan posisi tersungkur. Tuburku tersungkur di lantai bak bangkai tak bernilai.
Aku mencari chanel TV yang menyiarkan lokasi kecelakaan tersebut dan kulihat dari balik layar TV  banyak orang berdatangan menuju tempat jatuhnya pesawat Lion Air. Hiruk pikuk kesedihan tergambar jelas dari wajah-wajah orang yang terus berdatangan dan semakin memadatinya. Semua jasad korban kecelakaan pesawat tersebut yang telah dievakuasi hari ini juga akan dikirim ke rumah keluarga korban. Ada banyak relawan yang ikut serta dan deraian air mata tak berhenti mengalir membasahi pipi mereka yang ditinggalkan.
Air mataku terus menitik seperti ada mata air yang tertanam padanya. Aku mengugat Tuhan atas apa yang Dia lakukan padaku. Dia telah mengambil semua yang kumiliki dan membiarkanku dalam keadaan sendiri yang terus tertatah-tatah dalam labirinku. Kepalaku pusing dan tak memikirkan semua yang berlaku atas diriku. Aku kehilangan dua laki-laki sekaligus yang sangat aku sayang dan cintai. Dan kini aku harus mengandung bayi tanpa ayah. Aku hamil dan kehamilanku ini semakin hari semakin membesar. Kulihat tak satupun yang sedia menyekak air mataku bahkan dinding kamarku hanya membisu. Ia bungkam tanpa mengerti perasaanku.
***
Kulalui hidupku dengan kerapuhan mendalam berselimut kesedihan yang tak pernah ada habisnya. Aku selalu futur menatap masa depan yang berkabut hitam kelam. Namun, pastinya aku tak pernah melakukan rencanaku untuk menggugurkan kandunganku ini. Aku selalu membesarkan hatiku namun semua sia-sia saja. Kesadaranku tak lagi berfungsi. Semua tampak hitam kelam di hadapku dan tak ada setitik cahaya kecil yang menuntunku. Aku benar-benar futur.
Bulan terus berganti. Begitupun cemohan dan gunjingan dari masyarakat atas diriku silih berganti memborbardir diriku yang telah rapuh atas kandunganku yang semakin hari membuat perutku semakin membuncit besar. Aku tinggal menunggu hari atas kelahirannya. Kelahiran yang tak pernah kuikhlaskan dan tak pernah kurelakan. Hujaman sinis dari masyarakat dan teman-teman kampusku telah menusukkan belati yang sangat tajam pada hidupku yang selama ini tergopo-gopo dalam pencarian setitik cahaya terang yang tak pernah aku temukan. Semua mengjauhiku hingga langkahku tak pernah bisa mengejar dan menggapainya. Semua menjadi ukiran sejarah paling menyedihkan bagiku. Dan aku tak punya lagi keberanian untuk menyampaikan keadaanku yang telah menjadi manusia tak bermakna pada ibuku. Keberaniaku telah hancur terlantahkan oleh keadaan. Keadaan yang tak berpihak padaku dan menenggelamkanku pada jurang kesedihan dan kerapuhan berkepanjangan.
Hari kelahiran yang tak pernah kuinginkan telah menjamahku. Dengan bantuan dari seorang nenek yang memang berprofesi sebagai dukun beranak membantuk mengeluarkan manusia baru yang membuatku menjadi manusia tak berdaya. Aku terus berusaha mengeluarkannya dari tubuhku. Menguras semua tenaga yang kukumpulkan.
“Dorong nak. Dorong nak.” Aku hanya mendengar nenek dukun beranak tersebut mengatakan itu padaku yang telah kehilangan kekuatan untuk mengeluarkan bayi dalam tubuhku.
“Hembuskan lebih kuat lagi. Sebentar lagi. Dorong lebih keras lagi.” Ucapnya berkali-kali. Aku kelelahan dan hampir pingsang tak sadarkan diri. Sejam aku berusaa dan berjuang mengeluarkan bayi tersebut dan akhirnya aku melahirkannya tanpa ada sanak keluarga disampingku. Apalagi ayah dari anakku itu. Aku menagisi keadaan diriku yang malang ini.
Dengan langkah yang lihai dan cepat nenek dukun beranak tersebut memotong tali pusat anakku dan membersihkan tubuhnya. Setelah itu menyelimutinya dengan sarun kecil yang memang telah ia siapkan untuk kelahiran tersebut. Aku melirik anakku yang masih merah. Ia perempuan. Anakku perempuan.
“Anakmu perempuan nak.” Ucap nenek tersebut sambil meletakkan anakku tepat di sampingku.nenek tersebut kembali membuatkan diriku segelas minuman penambah stamina untuk diriku yang baru saja kehilangan kekuatan saat melahirkannya.
“Diminum nak, sebagai penambah stamina untuk dirimu.” Ia menyodorkan gelas tersebut dan meminumnya. Kembali kulirik bayiku yang tertidur berselimutkan sarung yang berada di sampingku. Aku menangis. Menangis dalam keharuan dan menangis dalam ksedihan. Menangis dalam keharuan melihat bayi yang tak berdosa ini telah hadir dalam hidupku. Ia lucu sekali. Dan aku menangis dalam kesedihan sebab bayiku lahir tanpa ayah. Ia tak punya ayah yang akan dijadikannya sandaran. Akupun melahirkan tanpa ada suami. Aku punya anak namun tak bersuami.
***
Aku meninggalkan rumah nenek dukun beranak sambil menggendong bayi yang baru saja kulahirkan. Aku tak tahu harus kemana. Aku bingung dengan keadaanku dan tak pernah berhenti menangisi keadaanku saat ini. Aku tak mungkin membesarkannya tanpa ayah. Aku tak mungkin membesarkan bayiku tanpa ada seorang suami di sampingku. Aku benar-benar futur. Dan terus melangkahkan kakiku tanpa arah dengan tujuan tak pasti.
Sudah sejam aku berjalan tertatah-tatah tanpa tujuan yang jelas. Aku berjalan sambi mengendong bayi merah yang baru saja menjadi penduduk bumi. Sekali-kali aku meliriknya dan merasa kasihan dengannya. Melebihi rasa kasihannya aku pada diriku sendiri.
Aku melewati sebuah yayasan panti asuhan. Aku menghentikan langkahku dan berheti tepat di depannya. PANTI ASUHAN KASIH SAYANG. Begitulah yang tertera pada papan nama tersebut dengan besar.
“Aku lebih baik menitipkanmu di tempat ini. Ini akan jauh lebih baik bagimu nak, daripada harus bersama dengan ibu.” Ujarku pada anakku yang belum mengerti dengan ucapan diriku. Tanpa berfikri panjang aku meletakkan anakku tepat di pintu gerbang masuk panti asuhan tersebut. Dengan menyisipkan beberapa lembar uang seratus sisa dari pembayaran biaya persalinanku pada nenek dukun beranak tersebut dan menyisipkan pula selembar kertas bertuliskan nama yang akan kuberikan pada anakku dan menuliskan beberapa kalimat untukknya.
Kelak aku akan melihat dan menjemptmu kembali nak. Saat waktu itu tiba. Saat Tuhan telah memberikan keadilan-Nya pada ibu yang telah lama Dia lupakan dan tinggalkan. Ibu akan menjemputmu suatu saat nanti dan ibu minta jangan kau mebenci ku, sebab kondisi ibu yang mengharuskan kau dan ibu terpisah. Berjanjilah untuk tidak membenci ibu nak. Biarkan ibu memberimu namu AINUN SALSABILAH. Ibumu yang harus menitipkanmu pada panti ini.” Aku menuliskan beberapa baris kalimat pada anakku sebab aku tidak bisa membohongi perasaanku bahwa aku sedih menitipkannya di panti Asuhan ini dan tak mendapatkan kasih sayang seorang ibu layaknya anak-anak yang lain. Mungkin inilah yang disebut dengan naluri kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
Aku mengjauh dari bayiku yang telah meletakkannya di depan gerbang masuk panti dan mengawasinya dari jarak jauh. Aku tidak ingin meninggalkannya sebelum mengetahui nasib bayiku. Aku berharap sebentar lagi pengurus panti asuhan keluar dan melihat bayiku.
“Semoga pengurus panti melihatmu nak.” Harapku dengan harapan hati yang mendalam.
“Ya Tuhan, jika kau tak ingin menjabahku tidak mengapa bagiku, tapi untuk kali ini saja aku ingin berharap pada-Mu, memohon pada-Mu, lindungi bayiku dan ketuklah hati pengurus panti untuk segera keluar dan mengambil bayiku.” Pintaku pada Tuhan.
Untuk beberapa lama aku mengawasi bayiku dari jarak jauh dan selama itupun aku terus berharap. Harapanku terkabulkan saat kulihat dan kudengar seorang berteriak dengan kerasnya mengalung ke panti asuhan.
“Bayi, ada bayi di depan pintu gerbang.” Tak lama kemudian pengurus panti keluar melihat bayiku bersamaan dengan beberapa anak yatim piatu yang menjadi tanggungan panti asuhan tersebut. Seorang ibu dengan badan besar gemuk kulihat mengambil bayiku yang tergeletak. Ia menciuminya dan melirik kanan-kiri di sekitar panti asuhan dan segera membawanya masuk ke dalam. Aku merasa legah mengetahui kondisi bayiku dan air mataku tak terbendung. Aku meninggalkan panti asuhan dan berlalu jauh dari tempat itu dengan harapan kelak bisa melihat bayiku tumbuh besar.
“Semoga kau bahagia di sana nak, dengan keluarga yang akan memberikanmu kasih sayang. Ibu janji kelak jika datang menjemputmu, ibu akan menganti semua kasih sayang yang tak kau dapatkan dari ibu.” Ujarku dengan kilauan mutiara bening yang berasal dari mataku.
***

  BERSAMBUNG ...

Comments

Post a Comment