Bismillah, Kutinggalkan Isbal





Selalu ada kebenaran pada setiap perjalanan. Maka teruslah menjadi seorang musafir atau pengembara di dunia ini, sebab dunia bukanlah tujuan kita melainkan jembatan menuju kampong halaman kita yang kekal.
Ada banyak cerita yang ingin kulantunkan melalui sebuah syair simponi pagi, atas keberkahan dari-Nya yang selalu memberikanku jalan untuk menuju jalan-Nya. Sebab atas kemudahan dan kasih sayang-Nya, telah menuntunku untuk mengenal kebenaran dalam kehidupan ini. Sebuah kebenaran dan pengaplikasian yang harus menghiasi keseharian. Sebuah kebenaran yang dulu sering kulalaikan dan mencari pembenaran atas penolakanku. Penolakan untuk tidak mengaplikasikannya meskipun kusadari kedangkalan dan keterbatasan ilmu yang kumiliki. Tapi seperti itulah manusia pada umumnya, ketika diberikan sebuah kebenaran yang benar-benar nyata, ia akan mencari sebuah pembenaran untuk tidak menerimanya, tak lepas juga denganku.
Isbal. Dulu sebelum aku mengetahuinya, ia menjadi sebuah kebiasaan dalam keseharianku. Bahkan aku punya dalil yang selalu aku gunakan untuk menentang dan tidak menerima hadits yang melarang untuk ber-isbal. Mengapa tidak, jauh sebelum mereka yang memperingatkan aku untuk tidak isbal, aku sudah pernah mendapatkannya dalam sebuah pelatihan di organisasiku. Yah dalilnya simpel sekali dan selalu aku gunakan. Bahkan kebanyakan orangpun sama sepertiku. Memiliki paradigma yang sama dalam penentangan larangan untuk ber-Isbal. Apa dalil yang kugunakan? Aku yakin semua pada tahu dan mengerti betul, apa itu.
“Tidak apa-apa Isbal yang jelas tidak sombong” itulah dalil yang selalu aku gunakan kala ada orang yang memperingatkanku atau memberikan nasehat tentang larangan isbal. Bahkan aku masih ingat betul, kala aku masih semester satu di kampus, seorang anggota jama’ah tabliq yang khuruj dan memilih masjid di kampung halamanku. Kami bertemu ba’da sholat magrib di masjid dan mengajakku untuk berbicara. Apalagi kalau bukan masalah agama, dakwah dan kampung akhirat. Dulu aku paling anti sekali dengan hal tersebut. (Itu dulu yah, segera alhamdulillah, dan semoga bisa istiqomah).
Jamaah Tabliq tersebut memberikan nasehat tentang berisbal dengan mengeluarkan beberapa dalil, tanpa banyak fikir segera saja aku dengan lantang mengatakan; “Tapi kan ada juga hadits yang mengatakan bahwa yang jelas tidak sombong. TIDAK SOMBONG” aku sampai mengulanginya.” Jama’ah Tabliq tersebut tidak melanjutkan pembahasannya dan memilih diam. Aku berada pada titik kemenangan, fikirku saat itu.
Terus, gimana ceritanya aku yang dulunya menantang keras tentang pelarangan isbal, langsung berubah dengan pengaplikasian ISBAL NO ??? maka jawabnya, terlebih dahulu kita kupas atau telaah bersama apa itu Isbal, serta hadits yang menjelaskan tentang pelarangan tentang Isbal.
Menurut bahasa Asbala izaarahu artinya menjuraikannya. Jika dikatakan asbala fulanun tsiyabahu artinya orang tersebut memanjangkan dan menjuraikan pakaiannya sampai ke tanah. Sedangkan menurut istilah, isbail kain mempunyai dua pengertian, yakni menjuraikan kain sehingga ujung kain harus diseret ketika berjalan; menjuraikan dan melabuhkan pakaian sehingga melewati batas yang telah ditetapkan dalam nas-nas syar’i, baik karena sombong atau tidak. Adapun batas panjang kain yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampaikan pada kita semua melalui sabdanya yaitu; “Kain seorang muslim hingga setengah betis.”[HR. Abu Dawud, Shahuh]. “Kain seorang mukmin hingga otot betis, kemudian separo betis, kemudian hingga ka’bain (dua mata kaki). Kain yang ada di bawah itu berada dalam neraka.” [HR. Ahmad 2/255, Shahih].
Ka’bain adalah dua buah tulang yang menonjol pada dua sisi persendian antara tulang betis dengan tulang-tulang telapak kaki. Dua tulang ini merupakan batas basuhan kaki ketika wudhu. ‘Utsman bin ‘Affan berkata, “Pakaian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu hingga pertengahan betis.” [Syama-il, at Tarmidzi, Shahih].
Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata, “Aku melewati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallan sedangkan sarungku terjurai. Beliau lantas bersabda, ‘Wahai ‘Abdullah, tinggikan sarungmu’ setelah kutinggikan, beliau masih bersabda, ‘Tinggikan lagi!’ semenjak itu kujaga agar kainku pada batas itu. Ada sebahagiann orang yang bertanya, “Seberapa tingginya?” “Sampai pertengahan betis,” jawab Ibnu Umar. [HR. Muslim]. Sedangkan dari Hudzaifah, beliau berkata, “Rasulullah memegang otot betisku lalu besabda, ‘Ini merupakan batas kain sarung, akan tetapi, jika engkau tidak setuju maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau tidak setuju juga maka tidak ada hak bagi sarung berada pada mata kaki.” [HR. Tirmidzi, Shahih].
Gimana? Sudah tau pengertian isbal dan batasan panjang kain? Tapi tidak sampai disitu saja, aku akan kembali berbagi seputas hadits-hadits yang mencela isbal, sehingga hati dan fikiran kita terbuka untuk menerima kebenaran akan syari’at Allah dan Rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, Allah tidak mau memandang orang yang mengisbal pakaiannya.” [HR. Nasa’i, Shahih]. “Kain yang berada di bawah dua mata kaki di dalam neraka.” [HR. Bukhari].
Dari ‘Amr bin al Syuraid, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang yang menyeret pakaiannya. Beliau lantas mengejarnya atau berjalan cepat untuk menyusulnya seraya bersabda, “Tinggikan kainmu dan takutlah kepada Allah!” orang tersebut berkata, “Kakiku berbentuk O dan kedua lutuku kecil! Nabi bersabda, “Tinggikan kainmu! Setiap ciptaan Allah itu bagus.” Semenjak itu ujung kainnya tidak pernah terlihat melebihi pertengahan betis. [HR. Ahmad 4/390, Shahih].
Ketika kita ingin menelah hadits ini, mungkin kita tidak akan pernah lagi menyepelehkan lagi perkara tentang Isbal, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin seluruh makhluk dan imam para dai, berjalan cepat mengejar seorang laki-laki biasa dari kalangan kaum muslim. Setelah itu beliau perintahkan untuk berbuat baik dan beliau melarang untuk melakukan kemungkaran. Hal ini jelas menunjukkan bahwa perkara ini adalah perkara besar dan berbahaya. Kita selaku umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi kalau kita adalah aktivis dakwah harusnya sering merenungi dan menghayati tindakan Rasulullah di atas dan tidak menyepelekan perkara isbal atau perkara-perkara agama yang lain sekecil apapun perkara tersebut. Bukankah Rasulullah datang untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dan tidakkah kita menelaah pernyataan Allah tentang pribadi Rasulullah?
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
Sesungguhnya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat teladan yang baik,”[ Al-Ahzab: 21].
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Jauhilah isbal karena hal itu termasuk kesombongan.” [HR. Abu Dawud, Shahih]. Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan seluruh bentuk isbal sebagai bagian dari kesombongan. Meskipun seseorang melakukan isbal bukan karena sombong, tetapi perbuatan isbal tetap merupakan sarana untuk menyombongkan diri dan tindakan tersebut berpotensi besar untuk menimbulkan kesombongan. Meski tidak bermaksud sombong, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melarang dan mengingatkan beberapa sahabat yang melakukan  isbal tanpa memperhatikan apakah hal itu dilakukan dengan maksud sombong atau tidak.
Abu Bakar al ‘Arabi berkata, “Pakaian laki-laki tidak boleh melewati mata kaki meski dia mengatakan, ‘Aku menyeretnya bukan karena sombong,’ karena dari segi lafazh hadits larangan Nabi mencakup isbal tanpa kesombongan. Orang yang tercakup oleh lafazh dalil secara hukum tidak boleh mengatakan, ‘Aku tidak mau melaksanakannya karena dalam diriku tidak terdapat illah (sebab) larangan. ‘Ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Bahkan memanjangkan ujung kain itu sendiri sudah menunjukkan kesombongannya.” [Fathul Bari 10/ 275].
Sebagian orang beralasan dengan hadits Abu Bakar untuk menetapkan bahwa isbal tanpa kesombongan itu makruh. Alasan ini jelas sangat tidak bisa diterima karena Abu Bakar tidak sengaja melakukan isbal dan beliau pun tidak bertanya mengenai hukum isbal dengan sengaja. Beliau hanya bertanya mengenai isbal yang terjadi tanpa beliau sadari dikarenakan tubuh beliau kurus. Jadi, orang yang menjaga dengan cermat pakaiannya yang apabila turun dengan sendirinya lalu segera ditinggikan tidaklah termasuk orang yang menyeret pakaiannya karena sombong, karena orang tersebut tidak mengenakannya karena diisbalkan, tetapi pakaian tersebut menjurai dengan sendirinya, lalu diangkat dan diikat kuat-kuat. Orang seperti ini jelas tidak bersalah karena sebenarnya pakaiannya tidak isbal.
Ada juga orang yang berdalih bahwa larangan isbal hanya pada sarung, tidak mencakup celana panjang. Mereka berdalih dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam“Isbal itu terjadi pada sarung, baju dan sorban. Barangsiapa melakukan isbal pada salah satunya karena sombong maka Allah tidak akan memandangya pada hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, Shahih].
Maka untuk membantah dalih ini marilah kita sejenak menelaah dan memperhatikan secara saksama perkataan para ulama yang memang berhak untuk kita dengarkan petuahnya dibandingkan dengan akal dan ilmu kita yang tak sebanding dengannya, seperti diri ini yang minim dengan ilmu dari-Nya.
Dalam Fathul Bari 10/244, al Hafizh Ibnu Hajar Rahimallahu berkata, “Dipilihnya kata-kata kain untuk mencakup sarung atau lainnya. Imam ath Thobari Rahimallahu berkata, “Dalam hadits hanya dipakai kata-kata sarung dan rida’ (jubah). Namun setelah orang mengenakan kemeja dan dar’u (sejenis kemeja) maka ketentuan untuk dua jenis pakaian ini sama dengan untuk sarung, yaitu terlarang diisbalkan.” [Fathul Bari 10/244].
Dalam al Muhalla 4/100 kitab ash Shalah, Ibnu Hazm Rahimallahu berkata, “Hukum ini berlaku umum untuk celana, sarung, kemeja, dan semua jenis pakaian.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimallahu dalam Majmu’ Fatawa 22/144 berkata, “Kemeja, celana dan berbagai jenis pakaian bila dipanjangkan tidak boleh lebih dari mata kaki, sebagaimana terdapat dalam berbagai hadits yang shahih dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan menurut Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimallahu berkata, “Isbal itu haram dan satu bentuk kemungkaran, baik terjadi pada kemeja, sarung, celana atau bisyfi (sejenis pakaian). Isbal adalah melebihi dua mata kaki.” [Kitab Ad Dakwah 1/221]. Serta Muhammad Nashiruddin al Albani rahimallahu mengenai isbal celana berkata, “Ini juga tidak boleh karena bukan hanya sarung yang dimaksud. Maksud pokok yang dikehendaki adalah kain, baik berupa sarung, kemeja, iba-ah (sejenis pakaian seperti mantel), atau lainnya. Tidak selayaknya seorang muslim memanjangkan pakaian sampai di bawah mata kaki.” [Dinukil dari kaset yang direkam pada Muharram th 1407. Pertanyaan diajukan oleh Syaikh Abu Ishaq al Huwaini].
***
Allah selalu punya cara sendiri untuk mengajak dan memeberi jalan kepada manusia untuk kembali kepada-Nya. Selalu banyak cara, dan selalu banyak jalan menuju-Nya yang ia tampakkan pada diri kita yang lemah dan selalu butuh pertolongan-Nya. Bahkan terkadang kita tidak sadar bahwa ternyata Allah sangat menyayangi dan mencintai kita sehingga kita tidak terlalu jauh meninggalkan-Nya dan masuk pada jurang penyesalan pada akhirnya. Cukup mudah bagi Allah untuk mengajak kita kembali dan membelai kita dalam genggaman-Nya. Dia hanya berkata Kun Fayakun  terhadap apa yang dikehendaki-Nya. Termasuk pemberian hidayah. Namun, terkadang kita susah untuk menelaah semuanya.
Hidayah bukan untuk kita tunggu datangnya. Atau menunggu kapan waktu untuk menjemputnya. Melainkan kita harus bersungguh-sungguh untuk mencarinya dan menanamkan dalam hati sebuah kesungguhan untuk mampu meraih hidayah-Nya dan tak melepaskannya sampai Dia kehendaki.
Lagi-lagi perjalanan harus menyadarkanku bahwa ada hikmah di dalamnya dan mampu memberiku jalan menuju-Nya. Hari itu, aku bersama dengan ikhwah yang lain mengantar seorang teman yang akan meninggalkan kota Tarakan untuk kembali mengarungi lautan ilmu di samudra kota Daeng Makassar. Akhi Andri. Iya, hari ini ia harus pulang untuk mengurus kuliahnya. Lain denganku yang masih ada liburan semester tersisa satu bulan.
Kami mengantarnya sampai pelabuhan sampai di dalam kapal laut “Bukit Siguntang”. Bahkan kami sempat sholat asar bersama di dalam kapal sebab Adzan telah berkumandang. Kami tak punya waktu untuk berlama-lama, sebab urusan kami juga masih ada. Kami berpelukan melepas kepergian saudara kami yang dengannya dan bantuannya hingga kami mampu membentuk komunitas Ikatan Pemuda Kahfi. Sedih? Tentunya. Sebab tak ada lagi hari-hari bersamanya. Tak ada lagi Taujih darinya. Tak ada lagi tuturan kisah dan pengalaman darinya. Tapi toh, hingga akhirnya nanti kami akan kembali berkumpul. Duduk bersama dalam majelis dan kembali saling menceritakan pengalaman dan berbagi ilmu yang akan kami dapatkan. Entah itu kapan, kami tak tahu. Ada takdir yang berbicara di atas Arsy Allah.
“Kenapa akhi?” tanyaku saat aku bersama dengan akhi Irwan berada di depan pintu masuk pelabuhan. Aku memperhatikannya yang sedang melipat celana levais yang ia kenakan sampai di atas mata kaki. Tadinya celana itu menutupi kedua mata kakinya.
“Tidak kenapa-napa.” Jawabnya singkat.
“Biasa aja lagi,” kataku sambil memperhatikan celananya yang menurutku terlalu berlebihan.
“Berpakaian ada etikanya, akhi.”
“Maksudnya? Etika bagaimana?” protesku ingin mencari tahu.
“Nanti kita bahas setelah kembali. Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan.” Jawabnya sambil berjalan menuju parkiran motor. Aku mengangkat bahu, tanda memakluminya. Sesekali aku melirik kembali kapal yang akan mengantar akhi Andri menuju tempat yang berbeda dari kota Tarakan. “Semoga sampai di tempat tujuan dengan selamat, akhi.” Do’a dalam hati sambil menahan gemuruh hati yang bersedih. Sejurus kemudian, aku mengetik semua pesan pendek untuknya.
“Syukran. Ana uhibbuka fillah ya akhi.”
Waktu berlalu. Aku kembali melakukan aktivitas harianku. Toh, sebentar lagi aku juga akan meninggalkan kota Tarakan dan kembali ke kampung untuk melanjutkan amanah belajarku. Maka waktu yang tersisa aku maksimalkan dengan sepenuh hati dan mengelilingi kota Tarakan. Dua hari berlalu, selepas perbincanganku dengan akhi Irwan tentang etika dalam berpakaian. Maka hari itu, aku berniat akan bertandang ke rumahnya setelah ba’da Sholat Asar jika aku tak mendapatinya di masjid Al-Muhajirin. Masjid yang banyak menyimpang kenangan tentang perjuangan dan pengorbanan akan dakwah bersama dengan ikhwah Ikatan Pemuda Kahfi.
“Akhi, gimana pertanyaan ana waktu itu?” cerutusku padanya kala kami selesai membaca al-Matsurah. Oh yah, membaca Al-Matsurah atau dzikri pagi petang aku dapatkan dari akhi Andri. Dulunya aku tidak tahu apa itu. Atau anggap saja aku tidak pernah membaca dzikir pagi petang. Tapi setelah kehadiran akhi Andri memberi warna baru dalam hidupku membuatku lebih dekat lagi pada Rabb-ku.
“Akhi, apa jawabnya?” lanjutku. Ia tidak merespon pertanyaanku. Ia hanya mengajakku silaturohim ke rumah akhi Abdullah. Aku tak menolak. Kami lalu berjalan menyisir lorong stapak yang menghubungkan dari satu rumah ke rumah yang lain.
“Ini, akhi.” Sambil menyodorkan sebuah buku kecil berwarna putih hitam. Aku tak banyak bertanya akan maksudnya sebab aku mahfum kalau jawaban dari pertanyaanku itu akan terjawab melalui buku keci ini.
“Ini!” Gumamku sambil mengangkat buku tersebut. Ia mengangguk. Aku lalu membukanya, namun ia menahanku.
“Baca di rumah saja akhi, dan baca dengan tenang dan ikutkan hati dan fikiranmu. Insya Allah semoga bermanfaat.” Entah mengapa, mendengarnya seperti itu membuatku bergetar hebat dan ingin segera kulahap habis buku tersebut. (maksudnya dibaca sampai habis, bukan dimakan seperti lalapan ayam goreng di warung..heheheheh).
***
Ya Allah, seperti inikah kenikmatan hidayah yang Engkau berikan hamba-Mu yang mendapat petunjuk dari-Mu?
Aku meneteskan air mata. Air mata penyesalan dan air mata takut pada Rabb-ku atas kesombongan, keangkuhan dan pelanggaran yang aku lakukan selama ini. Aku menjatuhkan kristal bening bersama dengan penyesalanku atas kurangnya ilmu yang aku miliki bersama dengan malasnya diriku untuk menjemput hidayah-Nya dan mencari kebenaran-Nya.
Ampuni diri yang hina dan lemah ini, ya Rabb.
Kau tahu, kawan. Jika Allah menginginkan kita untuk berada dalam kebaikan maka Allah akan memberikan kita kemudahan dalam memahami syari’at-Nya dan mengirimkan orang-orang yang selalu mengingatkan kita pada ke-Mahaan-Nya. Aku selesai membaca buku kecil yang telah diberikan oleh akhi Irwan. Buku yang sangat tipis tapi masya Allah, dampaknya sangat dashyat dan mampu meluluhkan karang hati yang keras. Buku itu adalah karangan dari ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid, ‘Abdul Karim al Juhaiman dan ‘Abdullah bin Jarullah Alu Jarullah dengan judul JENGGOT YES! ISBAL NO!!.
Saat itu pula aku menguatkan azzam dan memperlihatkan ketegasan dan kesungguhanku untuk taat pada Rabb-ku, Rasul-ku dan pada Agama-ku. “Bismillah, aku tinggalkan Isbal,” aku menguatkan diriku dan tanpa harus menunggu, aku menuju sebuah tempat untuk memotong celanaku yang sampai menutup kedua mata kaki. Tak ada yang lebih indah dari kenikmatan hidayah yang Allah telah titipkan pada hati kita. Ia menjalar dengan penuh kelembutan pada aliran darah kita dan bersinergi dengan alunan denyut nadi dan detakan jantung kita.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi, jika tanpa ke-Mahaan-Nya. Aku tidak tahu harus kemana lagi jika Dia meninggalkaku. Tapi pada kenyataannya bukan Allah yang meninggalkan kita, melainkan kita lah yang menjauh dari-Nya. Kita lah yang membuat jarak pada-Nya. Dan pada saatnya nanti, di mana suatu titik dari perjalanan kita, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak kembali menuju-Nya. Dialah Allah, tempat kita meminta pertolongan. Dia Rabb kita, tempat bergantung dan menyandarkan segala urusan kita.
Maka marilah kita mewarnai hidup kita dengan ketaatan pada-Nya. Menjadikan akhlak kita berdasar pada Al-Qur’an dan hadits Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam. Jangan pernah meninggalkan Allah sebab Dia sangat dekat dengan kita. Minta selalu pada-Nya, agar diri kita yang lemah ini senantiasa berada dalam hidayah-Nya.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ ١٨٦
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” [QS. Al-Baqarah: 186].
***

Comments

  1. Assalâmu'alaykum ustadz...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wa'alaikumussalam akhi fillah.. bagaimana kabar akhi fillah ?

      Delete
  2. Alhamdulillâh baik ustadz. Bagaimana dengan ustadz? semoga selalu diberikan kesehatan agar selalu menebarkan dakwah... aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah sehat juga. Syukran yah sudah membaca tulisan ana yang masih belajar ini. Jangan lupa tulisan yang lainnya dibaca juga akhi yah dan berikan tanggapan antum. Mari sama-sama berdakwah dengan potensi yang Allah amanahkan kepada setiap diri kita akhi fillah. Semangat terus.

      Delete

Post a Comment